Selasa, 14 Juli 2015

Dinasti Politik di antara Demokrasi dan HAM

Pada awal Juli 2015, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusan perkara pengujian undang-undang (dengan Nomor 33/PUU-XIII/2015) yaitu pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf r UU 8/2015 mengenai keluarga petahana jika maju sebagai calon dalam Pemilukada, atau yang populer di media sebagai “dinasti politik”. Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut menentukan bahwa, “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Adapun Penjelasan Pasal 7 huruf r tersebut menyatakan, "yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.
Dengan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasannya tersebut artinya seseorang yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan dimaksud dengan petahana (pejabat yang saat ini menjabat/incumbent) maka ia baru dapat menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah setelah melewati jeda 1 kali masa jabatan si petahana berakhir. Maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik dinasti” atau “dinasti politik".
Ada dua hal yang dihadapkan pada perkara pengujian Pasal 7 huruf r dan Penjelasannya tersebut yaitu aspek demokrasi dan aspek hak asasi manusia. Berhubungan dengan demokrasi karena adanya dinasti politik dikhawatirkan dapat menggerus nilai demokrasi dari penyelenggaraan Pemilukada. Berkaitan pula dengan hak asasi manusia (HAM) karena adalah hak setiap manusia untuk mencalonkan diri dalam suatu pemilihan dalam hal ini Pemilukada (right to be candidate).
Demokrasi sendiri berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Artinya demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Hal ini berbeda dengan nomokrasi yang berarti kekuasaan tertinggi suatu negara bersumber dari hukum. Berbeda pula dengan teokrasi, dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan dan didasarkan pada agama. Lebih berbeda lagi dibandingkan sistem kedaulatan raja yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada raja.
Bicara mengenai demokrasi artinya menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan penentu jalannya penyelenggaraan negara. Pemerintahan dalam suatu negara dilakukan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam Pemilukada, rakyat akan menentukan sendiri layak tidaknya seorang calon dipilih untuk memimpin daerahnya. Jika rakyat tidak menginginkan adanya dinasti politik maka sudah secara otomatis rakyat tidak akan memilih calon yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana. Atau sebaliknya, bisa jadi rakyat justru menginginkan calon tersebut memimpin daerahnya dengan alasan kualitas, integritas, dan kemampuan calon tersebut dinilai mumpuni meskipun ia memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana.
Konsep demokrasi di Indonesia sendiri memang bukan sekedar demokrasi secara mutlak melainkan lebih kepada gabungan antara kedaulatan rakyat dan juga kedaulatan hukum. Maka dari itu, jika membaca beberapa literatur akan kita temui bahwa kedaulatan di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan hukum. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, yakni demokrasi yang berada dalam koridor hukum. Adapun hukum tertinggi di Indonesia adalah konstitusi (UUD 1945), artinya demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang sesuai dengan konstitusi (demokrasi konstitusional).
Berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), kita mengenal adanya hak politik yang salah satunya adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Konstitusi UUD 1945 memang memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Nampaknya hal tersebut juga dipahami Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terlihat pada salah satu bagian pertimbangannya bahwa "...Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 ...".
Kini dengan telah dibatalkannya Pasal 7 huruf dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 oleh Mahkamah Konstitusi, maka langkah selanjutnya adalah penyesuaian perangkat dan aturan di bawahnya oleh pembentuk Undang-Undang dan penyelenggara Pemilukada. Sebagai negara demokrasi yang bedasarkan hukum, sudah sepatutnya pelaksanaan demokrasi tersebut berjalan dalam koridor hukum yang jelas sehingga kedaulatan rakyat itu tidak tergerus oleh aturan hukum itu sendiri.