Kamis, 26 Februari 2015

Hukum Internasional dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Menurut Hans Kelsen, hierarki norma hukum terdiri atas (i) norma dasar (fundamental norm); (ii) norma umum (general norms); dan (iii) norma konkrit (concrete norms). “Fundamental norms” terdapat dalam konstitusi, “general norms” terdapat dalam undang-undang, statute, atau legislative acts, sedangkan “concrete norms” terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) dan keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.[1]
Salah satu teori pengembangan dari teori hierarki norma Hans Kelsen adalah teori dari murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky yang disebut theorie von stufenufbau der rechtsordnung.[2] Menurut Nawiasky, sebagaimana dikutip Indrati, tata susunan norma hukum dalam suatu negara dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok besar. Kelompok pertama adalah Norma Dasar Negara atau disebut juga Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). Kelompok kedua disebut Aturan Dasar Negara atau disebut juga Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Kelompok ketiga disebut Undang-Undang (Formell Gesetz), sedangkan kelompok yang keempat disebut dengan Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung). [3]
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. [4]
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[5]
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3.  Formell gesetz: Undang-Undang;
4. Verordnung en autonome satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota (sekarang adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota)[6]
Adapun sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah terdiri atas:[7]
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang; 
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f.  Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa dalam hierarki Nawiasky tidak ada yang namanya Perjanjian Internasional ataupun Hukum Internasional. Namun berbeda dengan Nawiasky, Hans Kelsen menyebut salah satu bagian hierarki yaitu norma umum (general norms) adalah terdapat dalam undang-undang, statute, atau legislative acts. Jika statute yang dimaksud oleh Hans Kelsen adalah perjanjian internasional maka artinya kaidah hukum internasional pun dapat menjadi general norms yang merupakan bagian dari hierarki yang dikemukakan Hans Kelsen. Dengan kata lain tidak menutup kemungkinan hukum internasional mendapat tempat secara otomatis dalam hierarki peraturan perundang-undangan suatu negara. Wajar jika Hans Kelsen menempatkan statute dalam hierarkinya, karena ia sebagai penganut aliran monisme yang memandang hukum internasional dan hukum nasional sama-sama bagian dari satu sistem hukum yang lebih besar.
Hamid Attamimi dalam menjabarkan teori Nawiasky juga mengemukakan bahwa Staatsgrundgesetz adalah berupa Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. Artinya suatu konvensi pun dapat menjadi aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) yang setara dengan Batang Tubuh UUD 1945 dan Tap MPR. Indrati dalam bukunya menyebutkan bahwa yang dimaksud konvensi ketatanegaraan adalah hukum dasar tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya Hukum Dasar tidak tertulis di negara Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum Angka I UUD 1945[8] yang menentukan, Undang-Undang Dasar suatu negara ialah sebagian dari hukumnya dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
            Norma dasar[9] merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma. Norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.[10] Suatu norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) sudah seharusnya berakar dan lahir dari bangsa itu sendiri (nasional). Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh hukum internasional pada saat awal penyusunannya, namun tetap ada tahapan penyesuaian dengan hukum nasional dan ketika selesai disusun maka merupakan norma fundamental negara, bukan hukum internasional, karena norma fundamental negara adalah norma-norma yang sudah seharusnya lahir dari bangsa itu sendiri (nasional) dan menjadi ciri pula dibandingkan dengan negara lain. Demikian pula pada tiga kelompok di bawah Staatsfundamentalnorm, yakni Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (Formell Gesetz), serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung), juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum internasional. Jikapun ada pengaruh dari hukum internasional dalam pembentukannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa itu merupakan hukum internasional. Pengejewantahan hukum internasional tersebut seharusnya tetap memerlukan tahap transformasi atau alih bentuk.
            Ketika suatu undang-undang berlaku maka sesuai teori Nawiasky sudah seharusnya undang-undang itu merujuk pada Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara atau disebut juga Aturan Pokok Negara) yaitu Batang Tubuh UUD 1945[11]. Oleh karena itu, ketika suatu perjanjian internasional akan dituangkan dalam suatu undang-undang di Indonesia maka sejatinya juga merujuk pada Batang Tubuh UUD 1945.


[1] Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2004) hal. 38
[2] Hans Nawiasky dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hal 170
[3] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Buku I (Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 44-45
[4] Hans Nawiasky dalam A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal.287,  dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hal 170
[5] A. Hamid A. Attamimi dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hal 171
[6] Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, bukan lagi hingga  Keputusan Bupati atau Walikota melainkan hingga Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
[7] Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[8] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Buku I (Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 50-51
[9] Hans Kelsen menyebut norma dasar (fundamental norm) sebagai norma hukum yang tertinggi. Sedangkan Hans Nawiasky menggunakan istilah staatsfundamentalnorm sebagai norma hukum yang tertinggi
[10] Maria Farida Indrati. Op.Cit. hal. 41
[11] Bagian Batang Tubuh UUD 1945 dan bukan Pembukaannya, karena Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok pikiran Pancasila menurut Maria Farida Indrati merupakan Staatsfundamentalnorm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar