Jumat, 30 Oktober 2015

Subjectum Litis dan Objectum Litis dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Dengan digunakannya prinsip tersebut, maka dibutuhkan hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara. Melalui rumusan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 9 November 2001, menjadikan Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi beserta dengan kewenangannya.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, atau dalam praktik disebut sebagai perkara SKLN. Lahirnya kewenangan Mahkamah Konstisusi dalam menangani SKLN menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari mekanisme politik menjadi mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga.
Seperti halnya dengan jenis perkara lainnya yang juga diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) menjadi bagian penting suatu perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Kedudukan hukum (legal standing) ini pula yang menjadi pintu masuk (entry point) suatu perkara untuk dapat memasuki pokok permohonan. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara merupakan jenis perkara yang tidak hanya mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohonnya, melainkan juga memperhatikan kedudukan hukum (legal standing) Termohon. Ini karena khusus perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara adalah perkara yang menghadapkan Pemohon dan Termohon sebagai pihak yang menyengketakan suatu kewenangan dirinya selaku lembaga negara.
Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus dipenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut:
a. Para pihak yang bersengketa (subjectum litis) yaitu Pemohon dan Termohon, kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 
b. Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis) harus merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945;
c. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan.

Bicara mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, maka tidak terlepas dari subjectum litis dan objectum litis permohonan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-IX/2011 bertanggal 29 September 2011, terdapat pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menentukan subjectum litis dan objectum litis permohonan sebagai syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan Termohon.
Dalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait. (Jimly Asshiddiqie, 2005, “Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, halaman 15).
Berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 2/SKLN-IX/2011, untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pertama-tama harus diperhatikan adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar (objectum litis) dan kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis) (Luthfi Widagdo Eddyono, "Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, halaman 25).
Subjectum litis artinya adalah para pihak yang bersengketa dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Subjectum litis tersebut tidak hanya terhadap Pemohon, namun juga Termohon. Artinya jika Pemohon terpenuhi sebagai subjectum litis yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, akan tetapi Termohon bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (ataupun sebaliknya) maka syarat kumulatif yang dimaksud Pasal 61 UU MK tidaklah terpenuhi.
Objectum litis artinya adalah kewenangan yang dipersengketakan dalam perkara SKLN. Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara dalam rangka jurisdiksi Mahkamah Konstitusi adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada kelembagaan lembaga negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang dipersengketakan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. (Jimly Asshiddiqie, 2005, “Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, halaman 13).
Sengketa kewenangan adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Baik subjectum litis maupun objectum litis, keduanya adalah syarat yang harus dipenuhi dalam memenuhi kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Mahkamah berpendapat “subjectum litis maupun objectum litis Pemohon adalah dua hal yang pemenuhannya bersifat kumulatif”. (Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada paragraf [3.11] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-IX/2011, bertanggal 29 September 2011).
Bila dalam permohonan Pemohon tidak terpenuhi syarat subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis (objek perkara), maka permohonan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadilinya. Lazimnya Mahkamah Konstitusi memutus permohonan yang demikian dengan amar menyatakan "permohonan tidak dapat diterima" atau niet ontvankelijk verklaard.

Kesimpulan:
Sikap Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan terpenuhinya subjectum litis maupun objectum litis adalah sebagaimana ketentuan Pasal 61 UU MK, bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung Pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi Termohon. Jika melihat rumusan ketentuan Pasal 61 tersebut, maka ada tiga hal yang haruslah secara kumulatif terpenuhi, yaitu subjectum litis Pemohon, subjectum litis Termohon, dan objectum litis Permohonan. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi syarat kumulatif untuk terpenuhi kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan SKLN di Mahkamah Konstitusi.