Senin, 24 Oktober 2016

Indonesia’s Law System

There are diverse law systems in the world. At least, five law systems known in the world are civil law system, common law system, customary law system, Islamic law system, and mix law system. Indonesia's law system is civil law system. The civil law system is the law system that refer to written rule. The binding force in civil law system is come from codification or compilation of written rule. Legislature institutions are very important in Indonesia because they have authority to establish and enforce the Act as written rule. The legislatures in Indonesia are the House of Representatives (DPR) and the President. 
The classifications of the law in Indonesia are consisted of public law and private law. Public law is the law that relate to public interest such as the relationship between citizens and the state, and public service. Public laws in Indonesia are criminal law, administrative law, and constitutional law. Whereas the private law is law about relationship between human beings, between one person and another person with a focus on individual interests. Private laws in Indonesia are known as agrarian law, business law, commercial law, and intellectual property rights. 
Indonesia's law system applies the norms hierarchy theory of Hans Kelsen and Hans Nawiasky. Based on Article 7 of the Act Number 12 Year 2011, the hierarchy of legislation in Indonesia consists of (i) 1945 Constitution; (ii) MPR’s Decree; (iii) Act or Government Regulation in Lieu of Act; (iv) Government Regulation; (v) Presidential Decree; (vi) Provincial Regulation; and (vii) Regulation of the Regency or City. When the Act is contrary to the constitution, the Act can be applied for review to the Constitutional Court. Beside constitutional review, Indonesia’s law system has procedure of judicial review by Supreme Court. Judicial review is the authority of Supreme Court to review legislation under the Act like Government Regulation and Provincial Regulation.

Kamis, 16 Juni 2016

Jangka Waktu Pengajuan Grasi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Jangka Waktu Pengajuan Grasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010. Pasal tersebut adalah perubahan atas ketentuan Pasal 7 UU 22/2002 tentang Grasi, dimana pada awalnya pengajuan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 UU 22/2002], namun kemudian dibatasi yakni 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap [vide Pasal 7 UU 5/2010].

Pada tanggal 15 Juni 2016, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 7  ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya putusan tersebut artinya tidak ada lagi jangka waktu yang membatasi narapidana untuk mengajukan permohonan grasi.

Adapun beberapa poin pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 tersebut adalah:
  • Pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati, untuk mengajukan permohonan grasi;
  • Pembatasan demikian juga menghilangkan hak untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya;
  • Bisa jadi terpidana tersebut sangat dibutuhkan oleh negara, baik atas keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar negeri atas prestasi tertentu;
  • Grasi dapat mendukung kebijakan Presiden dalam mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang luar biasa dan tidak manusiawi lagi bagi narapidana;
  • Grasi dapat dipergunakan sebagai jalan keluar terhadap seorang narapidana yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan;
Keberadaan lembaga grasi secara eksplisit diakui oleh UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Grasi merupakan bagian dari cara negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang melakukan kesalahan dalam suatu perbuatan pidana yang hak pemberiannya diserahkan kepada Presiden sepenuhnya meskipun terlebih dahulu harus dengan mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung guna mengetahui latar belakang, motivasi, serta keadaan terpidana dan akibat perbuatannya.

Secara historis hak atau kekuasaan Presiden untuk memberi grasi berasal dari tradisi dalam sistem monarki Inggris dimana raja dianggap sebagai sumber keadilan sehingga kepadanya diberikan hak yang dikenal sebagai hak prerogatif eksekutif (executive prerogative) dalam bentuk hak untuk memberi pengampunan kepada warganya yang telah dijatuhi pidana. Ketika Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris mendeklarasikan kemerdekaannya dan menyusun konstitusinya secara tertulis, gagasan tentang hak prerogatif itu kemudian diadaptasi dalam sistem pemerintahannya yang kemudian dikenal sebagai sistem presidensiil. Namun demikian, berbeda halnya dengan gagasan asalnya yang menganggap hak itu melekat pada kekuasaan raja atau mahkota (crown), di Amerika Serikat kekuasaan tersebut dianggap diturunkan dari kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya didelegasikan kepada Presiden (sepanjang berkenaan dengan Undang-Undang federal) dan kepada Gubernur negara bagian (sepanjang berkenaan dengan Undang-Undang negara bagian dan  sesuai dengan konstitusi masing-masing negara bagian itu).

Kini dengan dihapusnya pembatasan jangka waktu dalam mengajukan grasi maka pertanyaannya kemudian, "Bagaimana jika grasi tersebut disalahgunakan oleh terpidana atau keluarganya untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan?" 
Hal tersebut pun telah dijawab oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 107/PUU-XIII/2015 tersebut bahwa seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi. Demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut.

Selengkapnya dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015.