Selasa, 02 Februari 2016

Sianida: antara Publik dan Pembuktian

Awal tahun 2016 ini, masyarakat digemparkan dengan urusan kopi, dari mulai persitiwa Thamrin di depan salah satu tempat ngopi terkenal, hingga kasus tewasnya seorang perempuan yang diduga akibat racun sianida yang dimasukkan dalam minuman kopinya. Kesamaan keduanya bukan hanya sekedar kaitannya dengan kopi, namun karena tidak dipungkiri bahwa kedua pesitiwa tersebut sama-sama menarik perhatian publik. Slogan #KamiTidakTakut di media sosial sempat ramai sebagai bentuk reaksi terhadap peristiwa Thamrin 14 Januari 2016. Begitu pula kasus kematian dengan racun dalam kopi, mengenai siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut dan bagaimana itu dilakukan, masyarakat demikian ramai memperbincangkannya, apalagi media massa terus-menerus mengangkat berita mengenai hal tersebut. 
Dua contoh tersebut sudah menunjukkan demikian tingginya tingkat kepekaan masyarakat Indonesia terhadap peristiwa yang terjadi saat ini, ditunjang dengan kemudahan akses media komunikasi sosial yang terus berkembang. Namun demikian, keingintahuan yang besar dari masyarakat justru terkadang menuntut hal-hal di luar mekanisme hukum yang ada, bahkan juga ada opini publik yang cenderung langsung menyalahkan seseorang. Padahal dari kacamata sistem hukum di Indonesia, setiap orang baru disebut bersalah jika memang telah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada kasus racun sianida dalam kopi, tidak sedikit orang mendesak polisi untuk membuka bukti-bukti kepada publik masyarakat, antara lain seperti bukti rekaman CCTV. Namun polisi beranggapan bahwa hal tersebut akan dilakukan nanti saat di persidangan. Desakan publik pun semakin kuat ketika telah ditetapkannya seorang saksi menjadi tersangka pada kasus tersebut.
Jika melihat pada sistem hukum kita, pembuktian dalam suatu tindak pidana dilakukan di dalam proses persidangan. Jadi adalah wajar jika polisi enggan mempublikasikan hal-hal yang jika itu dilakukan maka justru nantinya menjadi kontraproduktif. Pasal 1 angka 14 KUHAP menyatakan bahwa Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai penyelidik dan penyidik, sudah menjadi tugas polisi dalam menindak persitiwa kejahatan di masyarakat. (Lihat Penyelidik dan Penyidik). Ketika polisi menetapkan seseorang menjadi tersangka maka kita patut percaya bahwa polisi telah mengantongi setidaknya alat bukti permulaan yang jika nantinya diproses di persidangan bukti tersebut pun dapat meyakinkan Majelis Hakim yang mengadili perkara itu. Sebab Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Oleh karena itu menjadi tugas polisi untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya bukti yang sah dan meyakinkan untuk bekal pembuktian di persidangan. Polisi pun perlu cermat dan hati-hati terhadap bukti yang akan digunakan karena jika memang tidak cukup bukti maka polisi pun harus fair dan tidak memaksakan seseorang menjadi yang bersalah. Publik pun kembali akan melihat dan menilai bagaimana kesungguhan polisi dalam mengungkap persitiwa kejahatan yang terjadi di masyarakat.