Jangka Waktu Pengajuan Grasi di Indonesia telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010. Pasal tersebut adalah perubahan atas ketentuan Pasal 7 UU 22/2002 tentang Grasi, dimana pada awalnya pengajuan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 UU 22/2002], namun kemudian dibatasi yakni 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap [vide Pasal 7 UU 5/2010].
Pada tanggal 15 Juni 2016, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dengan adanya putusan tersebut artinya tidak ada lagi jangka waktu yang membatasi narapidana untuk mengajukan permohonan grasi.
Adapun beberapa poin pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 tersebut adalah:
- Pembatasan jangka waktu pengajuan permohonan grasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010 ternyata potensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati, untuk mengajukan permohonan grasi;
- Pembatasan demikian juga menghilangkan hak untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) yang persyaratannya salah satunya ada novum, sedangkan ditemukannya novum itu sendiri tidak dapat dipastikan jangka waktunya;
- Bisa jadi terpidana tersebut sangat dibutuhkan oleh negara, baik atas keahliannya maupun perannya dalam mengangkat nama baik bangsa di luar negeri atas prestasi tertentu;
- Grasi dapat mendukung kebijakan Presiden dalam mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang luar biasa dan tidak manusiawi lagi bagi narapidana;
- Grasi dapat dipergunakan sebagai jalan keluar terhadap seorang narapidana yang sangat memilukan keadaannya yang mengalami sakit keras, sakit tua, penyakit menular yang tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam lembaga pemasyarakatan;
Keberadaan lembaga grasi
secara eksplisit diakui oleh UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Pasal 14 ayat
(1) UUD 1945. Grasi merupakan bagian dari
cara negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang melakukan
kesalahan dalam suatu perbuatan pidana yang hak pemberiannya diserahkan kepada
Presiden sepenuhnya meskipun terlebih dahulu harus dengan mendapatkan
pertimbangan dari Mahkamah Agung guna mengetahui latar belakang, motivasi,
serta keadaan terpidana dan akibat perbuatannya.
Secara historis hak atau
kekuasaan Presiden untuk memberi grasi berasal dari tradisi dalam sistem
monarki Inggris dimana raja dianggap sebagai sumber keadilan sehingga kepadanya
diberikan hak yang dikenal sebagai hak prerogatif eksekutif (executive prerogative) dalam bentuk hak
untuk memberi pengampunan kepada warganya yang telah dijatuhi pidana. Ketika
Amerika Serikat sebagai bekas jajahan Inggris mendeklarasikan kemerdekaannya
dan menyusun konstitusinya secara tertulis, gagasan tentang hak prerogatif itu
kemudian diadaptasi dalam sistem pemerintahannya yang kemudian dikenal sebagai
sistem presidensiil. Namun demikian, berbeda halnya dengan gagasan asalnya yang
menganggap hak itu melekat pada kekuasaan raja atau mahkota (crown), di Amerika Serikat kekuasaan
tersebut dianggap diturunkan dari kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya
didelegasikan kepada Presiden (sepanjang berkenaan dengan Undang-Undang
federal) dan kepada Gubernur negara bagian (sepanjang berkenaan dengan
Undang-Undang negara bagian dan sesuai
dengan konstitusi masing-masing negara bagian itu).
Kini dengan dihapusnya pembatasan jangka waktu dalam mengajukan grasi maka pertanyaannya kemudian, "Bagaimana jika grasi tersebut disalahgunakan oleh terpidana atau keluarganya untuk menunda eksekusi atau
pelaksanaan putusan?"
Hal tersebut pun telah dijawab oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 107/PUU-XIII/2015 tersebut bahwa seharusnya jaksa sebagai
eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila
nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan
untuk mengajukan permohonan grasi atau setelah jaksa
selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana
apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan
grasi. Demi kepastian hukum
tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana
atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan
grasi tersebut.
Selengkapnya dapat dilihat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015.