Rabu, 29 Juli 2020

"Dinasti Politik" dan Putusan Mahkamah Konstitusi

    

        Pada tahun 2020, masyarakat dunia tengah diterpa Covid-19. Berbagai aspek kegiatan di setiap negara terdampak oleh penyebaran virus tersebut. Hal itu pun berdampak pada agenda politik di Indonesia, termasuk yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di 270 daerah pada tahun 2020. Sedianya, Pilkada akan diselenggarakan pada 23 September 2020, namun diundur menjadi 9 Desember 2020. Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menjadi dasar hukum diselenggarakannya Pilkada pada 9 Desember 2020 nanti.

        Dengan telah dipastikannya penyelenggaraan Pilkada 2020, maka agenda politik yang berkaitan dengan Pilkada 2020 pun kembali berjalan, termasuk pula isu-isu yang berkaitan dengan Pilkada. Salah satu isu yang mencuat terkait Pilkada 2020 adalah mengenai "Dinasti Politik" Pilkada ketika orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana atau tokoh-tokoh tertentu, turut serta berkompetisi menjadi kepala daerah. Pembicaraan mengenai "Dinasti Politik" bukan kali pertama ini muncul ketika menjelang Pilkada. Bahkan pada tahun 2015 pernah ada pengaturan berkaitan dengan hal tersebut, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Berikut ini adalah isi Pasal tersebut:

Pasal 7 huruf r UU 8/2015: 

Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. 

Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015:

"yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.

        Terhadap ketentuan tersebut, pada Juli 2015, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara pengujian undang-undang (dengan Nomor 33/PUU-XIII/2015) yang amarnya menyatakan membatalkan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015. Adapun salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yaitu:

[3.16.3]  Bahwa oleh karena pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan sekaligus mengandung muatan diskriminasi, dan oleh karena ketentuan a quo adalah bersangkut-paut dengan hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, maka ketentuan a quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Secara lebih spesifik, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;

        Dari pertimbangan tersebut, setidaknya ada 3 pasal dalam UUD 1945 yang berhadapan dengan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, yaitu Pasal 28J ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:

"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta  penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis". 


Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".


Pasal 28D ayat (3) UUD 1945:

"Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".


        Singkatnya, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 merupakan pasal yang berkaitan dengan pembatasan hak. Dengan perkataan lain, negara dapat melakukan pembatasan hak seseorang sepanjang menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Namun dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi melihat bahwa pembatasan yang diatur Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

        Sementara itu, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, merupakan pasal dalam UUD 1945 yang menjamin perolehan hak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Jika dilihat dari rumusan pasalnya, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan hak asasi manusia generasi pertama karena menjamin mengenai hak sipil dan  politik, meskipun rumusan pasalnya berciri “right to” yang justru biasanya dikenal dalam hak asasi manusia generasi kedua. Adapun menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pembatasan yang diatur Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah diskriminatif dan justru menghilangkan hak dalam bidang hukum dan pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut.


        Undang-Undang Pilkada mengalami perjalanan panjang dengan adanya perubahan-perubahan. Terbaru di tahun 2020 yaitu, Perppu 2/2020, yang merupakan perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Pilkada Tahun 2015 (UU 1/2015). Meskipun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentunya tetap menjadi pedoman dalam mengatur penyelenggaraan Pilkada, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah mengadili suatu norma, yang mana norma tidaklah terjelma dalam satu pasal semata, namun dapat terwujud dalam pasal dan ayat lain meski undang-undang dari pasal dan ayat tersebut telah diubah dan diganti sekalipun.


Post terkait: "Dinasti Politik di antara Demokrasi dan HAM"



Minggu, 16 Februari 2020

Perlindungan Hak Ekosob oleh Mahkamah Konstitusi

Perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya (hak Ekosob) merupakan hal yang tidak boleh diabaikan di samping hak sipil dan politik. Seiring perkembangan masyarakat, tuntutan atas beragam hak asasi manusia termasuk hak Ekosob semakin beragam. Pada suatu undang-undang tentu banyak ditemukan muatan norma yang berkaitan dengan hak Ekosob. Oleh karena itu, sebagai lembaga peradilan yang memiliki kewenangan dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam perlindungan hak Ekosob. 
Apabila diamati pada Prolegnas 2015-2019, fokus kebijakan pembentuk Undang-Undang masih banyak didominasi bidang penegakan hukum dibandingkan bidang pembangunan kesejahteraan rakyat. Apabila negara berkomitmen membangun masyarakat yang maju dan sejahtera, maka sudah seharusnya pula negara berinisiatif untuk memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect), dan menghormati (to respect) hak-hak asasi masyarakat tersebut, khususnya hak-hak yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Ketentuan dalam suatu Undang-Undang yang seharusnya menjadi instrumen perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam pelaksanaannya dapat pula menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak Ekosob. Oleh karena itu sebagai lembaga yang berwenang menguji undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki peran penting dalam penegakan HAM di bidang hak Ekosob, yang diwujudkan dalam putusan-putusannya. Mahkamah Konstitusi telah menghasilkan putusan-putusan yang menjadi pondasi maupun penerang bagi arah pembangunan hukum di Indonesia termasuk dalam perlindungan hak Ekosob. Esensi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusannya patut menjadi rujukan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang melindungi hak Ekosob.
Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan peran Mahkamah Konstitusi dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak Ekosob, antara lain, yaitu:
  • Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 yakni pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;
  • Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi membatalkan secara keseluruhan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
  • Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian;
  • Putusan Nomor 019/PUU-III/2005 yakni mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun  2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKI);
  • Putusan Nomor 70/PUU-IX/2011 yaitu dalam pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
  • Putusan Nomor 100/PUU-X/2012 yakni pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan pembayaran upah pekerja/buruh;
  • Putusan Nomor 67/PUU-XI/2013 yakni Mahkamah Konstitusi menegaskan kedudukan prioritas pembayaran upah pekerja dalam hal perusahaan pailit;
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-III/2005 mengenai anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD;
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VIII/2010 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan kewajiban pembiayaan pendidikan dasar oleh Pemerintah.
Selain putusan-putusan tersebut, tentunya masih banyak putusan lainnya yang berkaitan dengan hak Ekosob. Setidaknya, berdasarkan putusan-putusan sebagaimana disebutkan di atas, terlihat bahwa terhadap persoalan yang berkaitan dengan hak Ekosob, Mahkamah Konstitusi pun turut memiliki peran penting dalam perlindungan hak Ekosob.

Sumber dan Link: (Selengkapnya termuat dalam Buku kumpulan tulisan berjudul "Mahkota Mahkamah Konstitusi: Bunga Rampai 16 Tahun Mahkamah Konstitusi", terbitan Rajawali Pers 2019)