Pada tahun 2020, masyarakat dunia tengah diterpa Covid-19. Berbagai aspek kegiatan di setiap negara terdampak oleh penyebaran virus tersebut. Hal itu pun berdampak pada agenda politik di Indonesia, termasuk yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di 270 daerah pada tahun 2020. Sedianya, Pilkada akan diselenggarakan pada 23 September 2020, namun diundur menjadi 9 Desember 2020. Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menjadi dasar hukum diselenggarakannya Pilkada pada 9 Desember 2020 nanti.
Dengan telah dipastikannya penyelenggaraan Pilkada 2020, maka agenda politik yang berkaitan dengan Pilkada 2020 pun kembali berjalan, termasuk pula isu-isu yang berkaitan dengan Pilkada. Salah satu isu yang mencuat terkait Pilkada 2020 adalah mengenai "Dinasti Politik" Pilkada ketika orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan petahana atau tokoh-tokoh tertentu, turut serta berkompetisi menjadi kepala daerah. Pembicaraan mengenai "Dinasti Politik" bukan kali pertama ini muncul ketika menjelang Pilkada. Bahkan pada tahun 2015 pernah ada pengaturan berkaitan dengan hal tersebut, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Berikut ini adalah isi Pasal tersebut:
Pasal 7 huruf r UU 8/2015:
“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.
Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015:
"yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.
Terhadap ketentuan tersebut, pada Juli 2015, Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara pengujian undang-undang (dengan Nomor 33/PUU-XIII/2015) yang amarnya menyatakan membatalkan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015. Adapun salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi yaitu:
[3.16.3] Bahwa oleh karena pembatasan yang termuat dalam rumusan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan sekaligus mengandung muatan diskriminasi, dan oleh karena ketentuan a quo adalah bersangkut-paut dengan hak bagi setiap warga negara atas perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, maka ketentuan a quo dengan sendirinya juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Secara lebih spesifik, oleh karena hak konstitusional yang terhalangi secara tidak konstitusional oleh ketentuan a quo adalah hak untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah maka telah nyata pula ketentuan a quo melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
Dari pertimbangan tersebut, setidaknya ada 3 pasal dalam UUD 1945 yang berhadapan dengan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015, yaitu Pasal 28J ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945:
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945:
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
Pasal 28D ayat (3) UUD 1945:
"Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".
Singkatnya, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 merupakan pasal yang berkaitan dengan pembatasan hak. Dengan perkataan lain, negara dapat melakukan pembatasan hak seseorang sepanjang menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Namun dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi melihat bahwa pembatasan yang diatur Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Sementara itu, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, merupakan pasal dalam UUD 1945 yang menjamin perolehan hak dalam bidang hukum dan pemerintahan. Jika dilihat dari rumusan pasalnya, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 merupakan hak asasi manusia generasi pertama karena menjamin mengenai hak sipil dan politik, meskipun rumusan pasalnya berciri “right to” yang justru biasanya dikenal dalam hak asasi manusia generasi kedua. Adapun menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi, pembatasan yang diatur Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 adalah diskriminatif dan justru menghilangkan hak dalam bidang hukum dan pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut.
Undang-Undang Pilkada mengalami perjalanan panjang dengan adanya perubahan-perubahan. Terbaru di tahun 2020 yaitu, Perppu 2/2020, yang merupakan perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Pilkada Tahun 2015 (UU 1/2015). Meskipun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tentunya tetap menjadi pedoman dalam mengatur penyelenggaraan Pilkada, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah mengadili suatu norma, yang mana norma tidaklah terjelma dalam satu pasal semata, namun dapat terwujud dalam pasal dan ayat lain meski undang-undang dari pasal dan ayat tersebut telah diubah dan diganti sekalipun.
Post terkait: "Dinasti Politik di antara Demokrasi dan HAM"