Bila melihat ketentuan dari Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 3 (tiga) jenis amar putusan
Mahkamah Konstitusi yaitu:
a. mengabulkan;
b. menolak;
c. tidak dapat diterima.
Dalam praktiknya terdapat variasi dan perkembangan
mengenai bentuk amar pada putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut mengingat
permohonan yang diajukan juga mengalami perkembangan dan dalam praktiknya
ditemui pula kondisi-kondisi tertentu di luar kontekstual yang telah diatur. Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) tidak hanya sebatas dikabulkan ataupun ditolak. Pada putusan-putusan
yang telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dapat dijumpai adanya bentuk-bentuk
amar pada kondisi-kondisi tertentu sehingga membentuk semacam pola.
Mengabulkan
Sebagian
Pada praktiknya, amar putusan “mengabulkan” terbagi
menjadi beberapa jenis yaitu “mengabulkan seluruhnya” dan “mengabulkan sebagian”.
Amar putusan “mengabulkan seluruhnya” adalah apabila petitum (permintaan)
Pemohon dikabulkan seluruhnya tanpa terkecuali. Namun jika petitum (permintaan)
Pemohon hanya beberapa saja yang dikabulkan, sedangkan sebagian yang lain
ditolak atau tidak diterima, maka amar putusannya disebut “mengabulkan sebagian”.
Contohnya Pemohon meminta Pasal 1 dan Pasal 2 untuk dibatalkan, ketika Mahkamah
Konstitusi membatalkan Pasal 1 dan Pasal 2 maka disebut “mengabulkan
seluruhnya” sedangkan jika hanya membatalkan Pasal 1 saja namun Pasal 2 ditolak
maka disebut “mengabulkan sebagian”;
Conditionally Unconstitutional
Ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan
permohonannya, dikenal pula amar yang menyatakan dikabulkan secara bersyarat
yaitu putusan yang menyatakan bahwa suatu pasal yang dimohonkan pengujian
adalah bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dengan suatu syarat kondisi
tertentu. Amar putusan jenis ini dikenal dengan conditionally unconstitutional. Selain itu adapula jenis amar
putusan yaitu conditionally
constitutional. Meskipun demikian, keduanya baik conditionally unconstitutional maupun conditionally constitutional sama-sama mencantumkan suatu syarat
terhadap suatu pasal yang dinyatakan, dan identik dengan kata “sepanjang tidak
dimaknai” atau “sepanjang dimaknai”, oleh karena itu disebut dikabulkan secara
bersyarat.
Contoh amar putusan conditionally unconstitutional yaitu:
Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
Contoh amar putusan conditionally unconstitutional lainnya yaitu pada Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009:
Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah inkonstitusional kecuali harus diberi makna tertentu (conditionally unconstitutional) sebagaimana termuat dalam amar putusan ini. Dengan demikian Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Contoh amar putusan conditionally unconstitutional lainnya yaitu pada Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009:
Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah inkonstitusional kecuali harus diberi makna tertentu (conditionally unconstitutional) sebagaimana termuat dalam amar putusan ini. Dengan demikian Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Memaknai
Sendiri:
Pada saat suatu permohonan diajukan terdapat hal-hal
yang dimohonkan oleh Pemohon mengenai suatu norma atau pasal dalam
Undang-Undang. Namun Majelis Hakim justru memiliki pandangan tersendiri yang
dinilai akan memberi keadilan, sehingga kemudian Majelis Hakim memberikan makna
sendiri terhadap norma atau pasal yang dimohonkan pengujian, tidak sebagaimana
yang dimohonkan oleh Pemohon.
Tidak dapat
diterima
Mahkamah Konstitusi juga dapat mengeluarkan putusan
yang amarnya menyatakan “tidak dapat diterima”. Putusan jenis ini adalah
apabila:
a) Pemohon
tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan permohonan;
b) Permohonan
Pemohon isinya kabur atau tidak jelas. Termasuk juga di dalamnya jika permohonan
Pemohon tersebut bertentangan antara alasan yang diajukan (posita) dengan permohonan yang diminta (petitum).
c) Permohonan
kehilangan objek, yaitu jika pada saat proses pemeriksaan dan belum diputus
Majelis Hakim, Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut sudah tidak ada
lagi oleh karena adanya Undang-Undang baru yang menggantikannya.
Permohonan
Gugur
Suatu permohonan dinyatakan gugur apabila Pemohon meninggal dunia pada
saat permohonan sedang diperiksa dan belum diputus. Permohonan juga menjadi gugur apabila Pemohon tidak bersungguh-sungguh dalam permohonannya karena Pemohon tidak menghadiri
persidangan tanpa alasan yang sah, padahal Pemohon telah dipanggil secara sah
dan patut oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketetapan
Selain
Putusan, produk hukum lain yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam
memutus adalah Ketetapan. Pasal 48A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Ketetapan jika permohonan yang
diajukan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili; atau jika
Pemohon menarik kembali permohonannya.
Putusan Sela
Putusan Sela atau lazim dikenal Putusan Provisi, adalah putusan sebelum putusan akhir. Hukum acara Mahkamah juga mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
Meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi dalam
perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum,
kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, MK memandang perlu
menjatuhkan putusan provisi dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan,
kehati-hatian, kejelasan tujuan.
Contoh amar putusan sela atau provisi yaitu pada Putusan
Sela Nomor 133/PUU-VII/2009:
Sebelum menjatuhkan
Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32 ayat (1)
huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo.