Kamis, 12 Maret 2015

Jenis Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang

Bila melihat ketentuan dari Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 3 (tiga) jenis amar putusan Mahkamah Konstitusi yaitu:
a. mengabulkan;
b. menolak;
c. tidak dapat diterima.

Dalam praktiknya terdapat variasi dan perkembangan mengenai bentuk amar pada putusan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut mengingat permohonan yang diajukan juga mengalami perkembangan dan dalam praktiknya ditemui pula kondisi-kondisi tertentu di luar kontekstual yang telah diatur. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) tidak hanya sebatas dikabulkan ataupun ditolak. Pada putusan-putusan yang telah dikeluarkan Mahkamah Konstitusi dapat dijumpai adanya bentuk-bentuk amar pada kondisi-kondisi tertentu sehingga membentuk semacam pola.

Mengabulkan Sebagian
Pada praktiknya, amar putusan “mengabulkan” terbagi menjadi beberapa jenis yaitu “mengabulkan seluruhnya” dan “mengabulkan sebagian”. Amar putusan “mengabulkan seluruhnya” adalah apabila petitum (permintaan) Pemohon dikabulkan seluruhnya tanpa terkecuali. Namun jika petitum (permintaan) Pemohon hanya beberapa saja yang dikabulkan, sedangkan sebagian yang lain ditolak atau tidak diterima, maka amar putusannya disebut “mengabulkan sebagian”. Contohnya Pemohon meminta Pasal 1 dan Pasal 2 untuk dibatalkan, ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 1 dan Pasal 2 maka disebut “mengabulkan seluruhnya” sedangkan jika hanya membatalkan Pasal 1 saja namun Pasal 2 ditolak maka disebut “mengabulkan sebagian”;

Conditionally Unconstitutional
Ketika Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonannya, dikenal pula amar yang menyatakan dikabulkan secara bersyarat yaitu putusan yang menyatakan bahwa suatu pasal yang dimohonkan pengujian adalah bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dengan suatu syarat kondisi tertentu. Amar putusan jenis ini dikenal dengan conditionally unconstitutional. Selain itu adapula jenis amar putusan yaitu conditionally constitutional. Meskipun demikian, keduanya baik conditionally unconstitutional maupun conditionally constitutional sama-sama mencantumkan suatu syarat terhadap suatu pasal yang dinyatakan, dan identik dengan kata “sepanjang tidak dimaknai” atau “sepanjang dimaknai”, oleh karena itu disebut dikabulkan secara bersyarat.
Contoh amar putusan conditionally unconstitutional yaitu:
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
Contoh amar putusan conditionally unconstitutional lainnya yaitu pada Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009:
Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah inkonstitusional kecuali harus diberi makna tertentu (conditionally unconstitutional) sebagaimana termuat dalam amar putusan ini. Dengan demikian Pasal 32 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Memaknai Sendiri:
Pada saat suatu permohonan diajukan terdapat hal-hal yang dimohonkan oleh Pemohon mengenai suatu norma atau pasal dalam Undang-Undang. Namun Majelis Hakim justru memiliki pandangan tersendiri yang dinilai akan memberi keadilan, sehingga kemudian Majelis Hakim memberikan makna sendiri terhadap norma atau pasal yang dimohonkan pengujian, tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon.

Tidak dapat diterima
Mahkamah Konstitusi juga dapat mengeluarkan putusan yang amarnya menyatakan “tidak dapat diterima”. Putusan jenis ini adalah apabila:
a)  Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan;
b) Permohonan Pemohon isinya kabur atau tidak jelas. Termasuk juga di dalamnya jika permohonan Pemohon tersebut bertentangan antara alasan yang diajukan (posita) dengan permohonan yang diminta (petitum).
c)  Permohonan kehilangan objek, yaitu jika pada saat proses pemeriksaan dan belum diputus Majelis Hakim, Undang-Undang yang dimohonkan pengujian tersebut sudah tidak ada lagi oleh karena adanya Undang-Undang baru yang menggantikannya.

Permohonan Gugur
Suatu permohonan dinyatakan gugur apabila Pemohon meninggal dunia pada saat permohonan sedang diperiksa dan belum diputus. Permohonan juga menjadi gugur apabila Pemohon tidak bersungguh-sungguh dalam permohonannya karena Pemohon tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah, padahal Pemohon telah dipanggil secara sah dan patut oleh Mahkamah Konstitusi.

Ketetapan
Selain Putusan, produk hukum lain yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus adalah Ketetapan. Pasal 48A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Ketetapan jika permohonan yang diajukan bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili; atau jika Pemohon menarik kembali permohonannya.

Putusan Sela
Putusan Sela atau lazim dikenal Putusan Provisi, adalah putusan sebelum putusan akhir. Hukum acara Mahkamah juga mengatur permohonan provisi dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 UU MK yang berbunyi, “Mahkamah dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
Meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, MK memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan.
Contoh amar putusan sela atau provisi yaitu pada Putusan Sela Nomor 133/PUU-VII/2009:

Sebelum menjatuhkan Putusan Akhir, menyatakan menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni pemberhentian Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan, sampai ada putusan akhir Mahkamah terhadap pokok permohonan a quo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar