Senin, 18 Mei 2015

Konstitutisonalitas Penetapan Tersangka dalam Ranah Praperadilan

Ada suatu adigium universal yang mengatakan bahwa: "Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah"

Pada 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review) yang berkaitan dengan praperadilan. Putusan dengan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut antara lain menguji Pasal 77 huruf a KUHAP bahwa "Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau  tidaknya  penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan"
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut salah satunya telah memutuskan antara lain bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan perkataan lain, MK memutuskan bahwa sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan merupakan bagian dari hal yang dapat diputus dalam pranata praperadilan di samping sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan menurut KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP), tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atai pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Adapun putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah khusus mengenai Pasal 77 huruf a yaitu pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dengan adanya putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut maka artinya wewenang pengadilan dalam menangani gugatan praperadilan kini mencakup pula untuk memeriksa dan menutus tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Sebelum adanya putusan MK tersebut, isu mengenai penetapan tersangka belakangan ini telah lebih dulu populer khususnya ketika menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak sedikit tersangka tindak pidana korupsi yang mengajukan upaya praperadilan ke pengadilan untuk menuntut agar penetapan tersangka atas dirinya dinyatakan tidak sah. Putusan pengadilan negeri pun telah ada yang mengabulkan gugatan praperadilan dan menyatakan penetapan tersangka terhadap dirinya oleh KPK dinyatakan tidak sah, Banyak pula opini yang tidak setuju dengan putusan praperadilan tersebut dengan alasan hal tersebut tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi karena telah melepaskan jeratan KPK terhadap tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, lingkup praperadilan pun merupakan hal yang telah limitatif ditentukan dalam KUHAP, khususnya Pasal 77.
Pertimbangan MK pada putusan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun lingkup praperadilan dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, namun penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut dapat membuka pintu upaya hukum bagi seseorang yang merasa ditetapkan sebagai tersangka maupun mengalami penggeledahan dan penyitaan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Kekhawatiran bahwa akan terhentinya proses penegakan hukum bagi tersangka jika gugatan praperadilannya dikabulkan oleh pengadilan, hal tersebut telah terjawab pada pertimbangan putusan MK tersebut bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara idela dan benar. (selengkapnya putusan MK dapat dibaca di sini)
Kini dengan telah adanya putusan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi, hiruk pikuk dan keraguan perihal wewenang pengadilan negeri dalam memutus gugatan praperadilan megenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, seharusnya dengan putusan MK hal tersebut menjadi jelas. Bahkan bukan hanya penetapan tersangka, suatu penggeledahan dan penyitaan pun dapat diputuskan tidak sah oleh pengadilan jika ada gugatan praperadilan.
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) telah dijamin oleh konstitusi yakni sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, jika kita cermati, terkandung pesan moral khususnya bagi para penegak hukum bahwa seorang tersangka harus diposisikan sebagai subjek manusia yang memiliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. KUHAP menganut asas akusitor yang memposisikan tersangka sebagai subjek, itu berbeda dengan asas inkusitor yang memposisikan tersangka sebagai objek. Putusan MK tersebut juga mengandung pesan bahwa prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Hal yang sama tentunya berlaku pula dalam hal penggeledahan dan penyitaan.

Jumat, 15 Mei 2015

Sekilas tentang Hak Paten

Perjanjian Internasional tentang aspek-aspek perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual (the TRIP’s Agreement) dalam Part II mengenai Standards Concerning The Availability, Scope and Use of Intellectual Property Rights menyatakan bahwa HKI terdiri dari:
1. Copyright and Related Rights (hak cipta dan hak terkait);
2. Trademarks (merek dagang);
3. Geographical Indications (indikasi geografis);
4. Industrial Designs (desain industri);
5. Patents (paten);
6. Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits [tata letak (topografi) sirkuit terpadu];
7. Protection of Undisclosed Information (perlindungan informasi rahasia);
8. Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences (kontrol terhadap praktik persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi)
Salah satu cabang dari Hak Kekayaan Intelektual adalah paten. Paten diberikan untuk melindungi invensi di bidang teknologi. Paten diberikan untuk jangka waktu yang terbatas, dan tujuannya adalah untuk mencegah pihak lain, termasuk para investor independen dari teknologi yang sama, menggunakan invensi tersebut selama jangka waktu perlindungan paten, supaya inventor atau pemegang paten mendapat manfaat ekonomi yang layak atas invensinya. (Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, P.T. Alumni, Bandung, 2006).
Setiap teknologi selalu diawali dengan penemuan (invensi), dan seringkali penemu atas penemuannya (invensi) tersebut merasa dirugikan jika penemuannya justru diklaim oleh orang lain. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap penemu atas penemuannya.
Undang-Undang tentang Paten yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Keberadaan paten dapat menjamin perlindungan terhadap penemu (inventor) atas penemuannya (invensi). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 (UU 14/2001), menyebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak eksklusif tersebut diperoleh dengan melalui pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Lalu apa syaratnya agar suatu invensi (penemuan) dapat diberi Paten? Pasal 2 ayat (1) UU 14/2001 tentang Paten menyebutkan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah Inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Terdapat 2 macam asas pendaftaran paten dalam rangka perlindungan hukum, yaitu (i) Asas First to File yaitu memberikan hak paten bagi mereka yang mendaftar pertama atas invensi baru sesuai dengan persyaratan; (ii) Asas First to Invent yaitu memberikan hak paten bagi mereka yang menemukan inovasi pertama kali sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Sistem paten di Indoenesia menganut asas first-to-file, artinya siapa saja yang mendaftarkan invensinya untuk pertama kalinya di kantor Paten akan mendapatkan hak paten. (Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT Indeks, Jakarta, 2008). Asas first-to-file terlihat pada Pasal 34 ayat (1) UU 14/2001 yaitu apabila untuk satu Invensi yang sama ternyata diajukan lebih dari satu Permohonan oleh Pemohon yang berbeda, Permohonan yang diajukan pertama yang dapat diterima. (Lihat lebih lanjut mengenai Pendaftaran Paten)
Singkatnya, Paten atas suatu penemuan akan dimiliki seseorang jika seseorang tersebut mendaftarkan penemuannya. Hal ini berbeda dengan hak cipta yang diperoleh secara otomatis oleh pencipta sejak ciptaan diciptakan. Dalam arti lain, paten diberikan oleh negara kepada seseorang atas penemuannya.
Berbeda dengan Hak Cipta yang melindungi sebuah karya, Paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada Hak Cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Adapun pada Paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan. (Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009)
Paten memiliki suatu sifat eksklusif karena hanya Pemegang Paten yang dapat melaksanakan paten atau dapat pula memberikan hak kepada orang lain untuk dapat melaksanakan paten tersebut. Orang lain dilarang melaksanakan Paten tersebut tanpa persetujuan Pemegang Paten. Menurut UU Paten, Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten [vide Pasal 1 angka (6) UU 14/2001].
Pasal 16 ayat (1) UU 14/2001 tentang Paten mengatur bahwa Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  1. dalam hal Paten-produk : membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, meyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. dalam hal Paten-proses : menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 16 ayat (2) UU 14/2001 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 14/2001 disebutkan yang dimaksud dengan produk mencakup alat, mesin, komposisi, formula, product by process, sistem, dan lain-lain. Contohnya adalah alat tulis, penghapus, komposisi obat, dan tinta. Sedangkan yang dimaksud dengan proses mencakup proses, metode atau penggunaan. Contohnya adalah proses membuat tinta, dan proses membuat tisu.
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2001 memiliki pengecualian yaitu dikecualikan apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten, dengan perkataan lain sepanjang tidak digunakan untuk kepentingan yang mengarah kepada eksploitasi untuk kepentingan komersial [vide Pasal 16 ayat (3) dan Penjelasannya UU 14/2001].
Pemegang Paten juga memiliki hak yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU 14/2001 yaitu memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. Selain itu, Pemegang Paten juga berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan melanggar hak Pemegang Paten.
Selain memiliki hak, Pemegang Paten juga memiliki suatu kewajiban. Pemegang Paten diminta untuk membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia, yang dimaksudkan untuk menunjang adanya alih teknologi, penyerapan investasi, penyediaan lapangan kerja [vide Pasal 17 ayat (1) UU 14/2001]. Ketentuan tersebut memliki pengecualian yakni sepanjang apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional. Hal itu dimaksudkan untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan Paten sebab tidak semua jenis Invensi yang diberi Paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan [vide Pasal 17 ayat (2) dan Penjelasannya UU 14/2001]. Pengecualian kewajiban tersebut hanya dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal HKI apabila Pemegang Paten telah mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang [vide Pasal 17 ayat (3) UU 14/2001].
Selain kewajiban membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia, Pemegang Paten juga memiliki kewajiban membayar biaya tahunan (annual fee) yang dimaksudkan untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya Paten dan pencatatan lisensi. [vide Pasal 18 UU 14/2001]. Istilah itu dikenal juga di beberapa negara sebagai biaya pemeliharaan (maintenance fee).
Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan permohonan Paten dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Adapun Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan permohonan Paten dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang [vide Pasal 8 dan Pasal 9 UU 14/2001]
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Paten pada dasarnya memiliki fungsi untuk melindungi suatu penemuan. Perlindungan terhadap penemuan tersebut tentunya tidak hanya untuk kepentingan individu penemu, namun juga untuk kepentingan masyarakat, yaitu kesejahteraan masyarakat serta riset dan pembangunan. Bahkan paten juga memiliki manfaat bagi kepentingan negara karena Paten memiliki peran terhadap perkembangan perekonomian dan teknologi suatu negara.

Pustaka:
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
  • The TRIP’s Agreement
  • Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, P.T. Alumni, Bandung, 2006
  • Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT Indeks, Jakarta, 2008
  • Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009