Ada suatu adigium universal yang mengatakan bahwa: "Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah"
Pada 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review) yang berkaitan dengan praperadilan. Putusan dengan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut antara lain menguji Pasal 77 huruf a KUHAP bahwa "Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan"
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut salah satunya telah memutuskan antara lain bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan perkataan lain, MK memutuskan bahwa sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan merupakan bagian dari hal yang dapat diputus dalam pranata praperadilan di samping sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan menurut KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP), tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atai pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Adapun putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah khusus mengenai Pasal 77 huruf a yaitu pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dengan adanya putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut maka artinya wewenang pengadilan dalam menangani gugatan praperadilan kini mencakup pula untuk memeriksa dan menutus tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Sebelum adanya putusan MK tersebut, isu mengenai penetapan tersangka belakangan ini telah lebih dulu populer khususnya ketika menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak sedikit tersangka tindak pidana korupsi yang mengajukan upaya praperadilan ke pengadilan untuk menuntut agar penetapan tersangka atas dirinya dinyatakan tidak sah. Putusan pengadilan negeri pun telah ada yang mengabulkan gugatan praperadilan dan menyatakan penetapan tersangka terhadap dirinya oleh KPK dinyatakan tidak sah, Banyak pula opini yang tidak setuju dengan putusan praperadilan tersebut dengan alasan hal tersebut tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi karena telah melepaskan jeratan KPK terhadap tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, lingkup praperadilan pun merupakan hal yang telah limitatif ditentukan dalam KUHAP, khususnya Pasal 77.
Pertimbangan MK pada putusan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun lingkup praperadilan dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, namun penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut dapat membuka pintu upaya hukum bagi seseorang yang merasa ditetapkan sebagai tersangka maupun mengalami penggeledahan dan penyitaan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Kekhawatiran bahwa akan terhentinya proses penegakan hukum bagi tersangka jika gugatan praperadilannya dikabulkan oleh pengadilan, hal tersebut telah terjawab pada pertimbangan putusan MK tersebut bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara idela dan benar. (selengkapnya putusan MK dapat dibaca di sini)
Kini dengan telah adanya putusan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi, hiruk pikuk dan keraguan perihal wewenang pengadilan negeri dalam memutus gugatan praperadilan megenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, seharusnya dengan putusan MK hal tersebut menjadi jelas. Bahkan bukan hanya penetapan tersangka, suatu penggeledahan dan penyitaan pun dapat diputuskan tidak sah oleh pengadilan jika ada gugatan praperadilan.
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) telah dijamin oleh konstitusi yakni sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, jika kita cermati, terkandung pesan moral khususnya bagi para penegak hukum bahwa seorang tersangka harus diposisikan sebagai subjek manusia yang memiliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. KUHAP menganut asas akusitor yang memposisikan tersangka sebagai subjek, itu berbeda dengan asas inkusitor yang memposisikan tersangka sebagai objek. Putusan MK tersebut juga mengandung pesan bahwa prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Hal yang sama tentunya berlaku pula dalam hal penggeledahan dan penyitaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar