Pada bulan Desember 2015, pemilihan kepala daerah secara serentak menjadi momen pertama kali bagi bangsa Indonesia. Bukan hal baru bagi rakyat Indonesia untuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, namun hal ini menjadi hangat mengingat pelaksanaannya yang secara serentak. Direncanakan bahwa Pilkada serentak dilakukan sebanyak tujuh gelombang dari Desember 2015 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan semester pertama 2016), Februari 2017 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan pada 2017), Juni 2018 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019), tahun 2020 (untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015), tahun 2022 (untuk kepala daerah hasil pemilihan pada Februari 2017), tahun 2023 (untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018), dan tahun 2027. Sehingga mulai 2027, Pilkada dilakukan secara serentak di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia yang seterusnya dilakukan kembali setiap 5 tahun sekali.
Kronologis Kewenangan Sengketa Pilkada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah menunjuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Tugas tersebut bukanlah hal baru bagi MK karena pernah dilakukan pada beberapa tahun sebelumnya. Secara kronologis, semula berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MA tersebut dicantumkan lagi dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana telah diubah dengan PP No 49 Tahun 2008. Namun kemudian sejak perubahan UU 32/2004 tentang Pemda kewenangan tersebut beralih dari MA ke MK. UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32/2004 tentang Pemda dalam Pasal 236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak UU 12/2008 tersebut diundangkan. Ketentuan Pasal 236C UU 12/2008 tersebut ditindaklanjuti dengan Ketua MA dan Ketua MK saat itu bersama-sama menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili pada tanggal 29 Oktober 2008. Sejak saat itulah MK menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang saat itu Pilkada belum dilakukan secara serentak. Pada tahun 2009 pun kewenangan tersebut dimuat pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni UU 48/2009 pada Pasal 29 ayat (1) huruf e.
Dalam perjalanannya, terdapat permohonan pengujian undang-undang mengenai kewenangan MK dalam mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada. Permohonan constitusional review dengan registrasi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut adalah menguji Pasal 236C UU 12/2008 yang sejak 2008 menjadi dasar hukum MK dalam mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Perkara tersebut juga sekaligus menguji pula Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MK pun kemudian melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 pada tanggal 19 Mei 2014 menyatakan Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dibatalkannya Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 tersebut maka MK tidak lagi berwenang mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, meskipun dalam amar putusan 97/PUU-XI/2013 terdapat ketentuan peralihan yaitu MK tetap mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Salah satu alasan MK menyatakan Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 inkonstitusional adalah karena menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, sedangkan menurut MK perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilihan Umum,
Presiden SBY pada akhir periode jabatannya pada Oktober tahun 2014 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada Pasal 157 Perppu tersebut, penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Tinggi sebagai penerima perkara. Hal tersebut mengingat perangkat MA yang sudah tersedia di tingkat daerah, disamping juga merujuk putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang secara tidak langsung mengembalikan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada kepada MA. Pada masa Presiden Jokowi, pembentuk undang-undang melalui UU Nomor 1 Tahun 2015 menetapkan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun UU 1/2015 tersebut kemudian mengalami perubahan-perubahan. UU 8/2015 yang merupakan perubahan atas UU 1/2015 menjadikan MK untuk kembali mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (lihat Pasal 157 UU 8/2015). Pertimbangan pembentuk undang-undang adalah sambil menunggu dibentuknya badan peradilan khusus penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah maka kewenangan tersebut ditangani oleh MK, sehingga jadilah MK kembali menangani perkara perselisihan hasil Pilkada serentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar