Jumat, 17 April 2015

Perubahan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban

UUD 1945 sebagai konstitusi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan selain itu juga menjunjung tinggi perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang melindungi hak asasi manusia, dalam penegakan hukumnya negara tersebut hendaknya senantiasa memperhatikan perlindungan terhadap korban, saksi, maupun pelaku suatu tindak pidana. Pada tahun 2014, pembentuk undang-undang telah selesai membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bagian konsiderans (menimbang) Undang-Undang baru tersebut disebutkan bahwa perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Beberapa hal baru telah diatur pada UU 31/2014 baik dari segi perlindungan terhadap saksi, korban, dan saksi pelaku, maupun dari segi lembaga penegaknya yaitu dalam hal ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

1. Saksi Pelaku
Pada UU yang baru telah diakomodir keberadaan Saksi Pelaku yaitu dalam kaitannya dengan penyelesaian pemeriksaan tindak pidana. Menurut UU yang baru, Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Dalam UU baru diatur pula syarat pemberian perlindungan terhadap Saksi Pelaku.

2. Kompensasi dan Restitusi.
Pada UU yang baru telah diatur lebih tegas mengenai apa yang dimaksud kompensasi dan restitusi, serta pengajuannya. Namun demikian pada Pasal 7B disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Setidaknya dengan adanya Pasal 7B tersebut telah membuka ruang diaturnya lebih rinci mengenai permohonan dan pemberian kompensasi dan restitusi.

3. Penambahan hak Saksi dan Korban.
Terdapat tiga penambahan hak saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 yakni hak untuk dirahasiakan identitasnya, hak mendapat tempat kediaman sementara, dan hak mendapat pendampingan. Hak tersebut tidak hanya diberikan kepada Saksi dan/atau Korban, namun dalam kasus tertentu dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan Ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

4. Perlindungan terhadap Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat juga berhak mendapatkan bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Pada UU yang lama perlindungan tersebut hanya mengakomodir Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

5. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

6. Penanganan Khusus dan Penghargaan.
Pada UU yang baru telah dikenal adanya penanganan khusus dan penghargaan bagi Saksi Pelaku. Penanganan secara khusus adalah seperti pemisahan tempat penahanan; pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. Adapun Penghargaan atas kesaksian adalah berupa keringanan penjatuhan pidana; atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

7. Wewenang LPSK 
Pada UU yang baru, wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) disebutkan secara rinci yakni dalam Pasal 12A.

8. Komposisi Pimpinan LPSK.
Komposisi 7 orang Pimpinan LPSK diatur lebih rinci pada UU yang baru bahwa LPSK terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota dan 6 (enam) orang Wakil Ketua masing-masing merangkap sebagai Anggota. Disebutkan pula bahwa Pimpinan LPSK tersebut bekerja secara kolektif.

9. Tenaga Ahli LPSK
LPSK dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan organisasi.

10. Dewan Penasihat
Dewan Penasihat dibentuk untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Anggota LPSK.

11. Dewan Etik 
UU yang baru mengatur pula tentang keberadaan Dewan Etik. Dalam hal Anggota LPSK melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e UU a quo, Dewan Penasihat membentuk Dewan Etik yang bersifat ad hoc.

12. Perlindungan terhadap Pelapor dan Ahli.
Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan Ahli diberikan dengan syarat:  
a. sifat pentingnya keterangan Pelapor dan Ahli; dan 
b. tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor dan Ahli.

13. LPSK dapat bersifat aktif.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UU yang baru (UU 31/2014) bahwa dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan. 

14. Perlindungan terhadap anak.
UU yang baru telah mengakomodir perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban. 

15. Penegasan bahwa hak perlindungan dihentikan jika diketahui bahwa kesaksian, laporan, atau informasi lain diberikan tidak dengan iktikad baik. Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, maka tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut.

16. Penghapusan ancaman pidana minimal.
Pasal 37 hingga Pasal 41 yang mengatur tentang ketentuan pidana, pada UU yang baru telah diperbarui yakni dengan menghapus ketentuan pidana penjara paling sedikit dan pidana denda paling sedikit. Dengan demikian tidak ada ancaman pidana penjara dan denda minimal lagi dalam ketentuan Pasal 37 sampai Pasal 41 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

17. Tindak Pidana oleh Korporasi
Pada UU yang baru diatur pula ketentuan ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 UU 31/2014.

Demikianlah beberapa perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang terdapat pada UU 31/2014. UU baru tersebut sifatnya tidak mencabut UU yang lama melainkan merubah beberapa ketentuan, artinya ketentuan lainnya pada UU 13/2006 tetaplah berlaku sepanjang yang tidak diubah oleh UU 31/2014. Adanya perubahan dan perbaikan UU tersebut diharapkan dapat meningkatkan perlindungan terhadap saksi dan korban di Indonesia.

1 komentar: