Grasi
adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana [vide
Pasal 1 angka 1 UU 22/2002 tentang Grasi]. Pada negara kita yang menganut presidensiil,
grasi diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
[vide Pasal 14 ayat (1) UUD 1945]. Permohonan grasi dapat diajukan sejak
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap [vide Pasal 7 ayat (1) UU Grasi]. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, permohonan grasi pun memiliki rangkaian prosedur tersendiri, mulai dari penyampaian permohonan kepada pengadilan yang memutus, lalu diteruskan ke Mahkamah Agung, dan ditindaklanjuti Mahkamah Agung dengan memberi pertimbangan kepada Presiden untuk kemudian Presiden menetapkan akan menolak atau menerima permohonan grasi tersebut. Sebelum adanya Undang-Undang Grasi yang baru, permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal
7 UU 22/2002], namun setelah ada perubahan Undang-Undang Grasi yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002,
permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. [vide
Pasal 7 ayat (2) UU 5/2010]
Dalam
praktiknya, para terpidana yang setelah sekian lama menjalani hukuman di
penjara, tidak menutup kemungkinan telah bersikap dan berkelakuan baik dalam
menjalani kehidupan di lembaga pemasyarakatan selama bertahun-tahun. Akan
tetapi mereka tidak dapat mengajukan permohonan grasi dikarenakan adanya batas
waktu pengajuan selama 1 (satu) tahun. Jika demikian maka hasil positif dari
bimbingan dan pembinaan di lingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut justru
menjadi sia-sia. Bukankah tujuan dari lembaga pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab? [vide
konsiderans menimbang huruf c UU Pemasyarakatan]. Tidak
adanya jaminan bahwa jangka waktu satu
tahun adalah waktu yang cukup bagi keberhasilan bimbingan dan pembinaan lembaga
pemasyarakatan terhadap terpidana, mengingat “pertobatan” terkadang juga
menjadi proses perenungan yang panjang pada diri seseorang, sehingga alasan
moral dan kemanusiaan yang seharusnya dapat
menjadi pertimbangan dikabulkannya grasi pun menjadi tidak ada gunanya.
Seiring perkembangan waktu,
perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia semakin dipandang sebagai
hal yang penting dalam penyelenggaraan negara. Sejak dimulainya era reformasi
kesadaran dan pengakuan hak asasi manusia terus mengalami kemajuan, apalagi perubahan UUD 1945 pada tahun
1999-2002 menghasilkan muatan hak asasi manusia yang
banyak tertulis dalam konstitusi kita. Oleh karena itu, perubahan
ketentuan tenggang waktu pengajuan yang semula tidak dibatasi menjadi dibatasi
hanya 1 (satu) tahun tentunya menjadi suatu pertanyaan di tengah akselerasi
penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Secara
doktrinal, dikenal bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium sehingga menimbulkan konsekuensi bilamana ada
perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap
terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya [vide Pasal 1 ayat
(2) KUHP].
Pembahasan mengenai tenggang
waktu pengajuan grasi tentunya akan membawa kita pada dua hal yang saling
berhadapan yaitu antara kutub kepastian hukum di satu sisi dan kutub keadilan
di sisi lainnya. Pemberian grasi yang hanya dibatasi 1 tahun tentunya dapat
menjamin kepastian hukum terhadap masa pidananya serta meminimalisir begitu
banyaknya permohonan grasi yang diajukan. Batas waktu tersebut juga dapat
menghindari penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan.
Sedangkan dari segi keadilan, pembatasan waktu yang demikian tentunya dapat
melanggar hak asasi terpidana dalam memperoleh pengampunan atas pelaksanaan
pidana.
Pembatasan waktu permohonan
grasi juga menjadi kontradiksi terhadap penguatan sistem presidensiil yang diterapkan di
Indonesia. Grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak
terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan
merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak
prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat
mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana
yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga
bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Mengingat pemberian grasi
adalah hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara maka apakah tepat jika
Presiden dibatasi oleh waktu tertentu untuk dapat memberikan “pengampunan”
terhadap terpidana. Apalagi konstitusi hanya menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung, namun konstitusi tidak mengatur mengenai batas
waktu pengajuan permohonan grasi,
sehingga apakah memang perlu adanya pembatasan waktu pengajuan permohonan grasi di Indonesia?
(Lihat "Jangka Waktu Pengajuan Grasi Pasca Putusan MK")
(Lihat "Jangka Waktu Pengajuan Grasi Pasca Putusan MK")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar