Jumat, 06 November 2015

Jangka Waktu Pengajuan Grasi di Indonesia

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana [vide Pasal 1 angka 1 UU 22/2002 tentang Grasi]. Pada negara kita yang menganut presidensiil, grasi diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [vide Pasal 14 ayat (1) UUD 1945]. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap [vide Pasal 7 ayat (1) UU Grasi]. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, permohonan grasi pun memiliki rangkaian prosedur tersendiri, mulai dari penyampaian permohonan kepada pengadilan yang memutus, lalu diteruskan ke Mahkamah Agung, dan ditindaklanjuti Mahkamah Agung dengan memberi pertimbangan kepada Presiden untuk kemudian Presiden menetapkan akan menolak atau menerima permohonan grasi tersebut. Sebelum adanya Undang-Undang Grasi yang baru, permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 UU 22/2002], namun setelah ada perubahan Undang-Undang Grasi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. [vide Pasal 7 ayat (2) UU  5/2010]
Dalam praktiknya, para terpidana yang setelah sekian lama menjalani hukuman di penjara, tidak menutup kemungkinan telah bersikap dan berkelakuan baik dalam menjalani kehidupan di lembaga pemasyarakatan selama bertahun-tahun. Akan tetapi mereka tidak dapat mengajukan permohonan grasi dikarenakan adanya batas waktu pengajuan selama 1 (satu) tahun. Jika demikian maka hasil positif dari bimbingan dan pembinaan di lingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut justru menjadi sia-sia. Bukankah tujuan dari lembaga pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab? [vide konsiderans menimbang huruf c UU Pemasyarakatan]. Tidak adanya jaminan bahwa jangka waktu satu tahun adalah waktu yang cukup bagi keberhasilan bimbingan dan pembinaan lembaga pemasyarakatan terhadap terpidana, mengingat “pertobatan” terkadang juga menjadi proses perenungan yang panjang pada diri seseorang, sehingga alasan moral dan kemanusiaan yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan dikabulkannya grasi pun menjadi tidak ada gunanya.
Seiring perkembangan waktu, perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia semakin dipandang sebagai hal yang penting dalam penyelenggaraan negara. Sejak dimulainya era reformasi kesadaran dan pengakuan hak asasi manusia terus mengalami kemajuan, apalagi perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002 menghasilkan muatan hak asasi manusia yang banyak tertulis dalam konstitusi kita. Oleh karena itu, perubahan ketentuan tenggang waktu pengajuan yang semula tidak dibatasi menjadi dibatasi hanya 1 (satu) tahun tentunya menjadi suatu pertanyaan di tengah akselerasi penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Secara doktrinal, dikenal bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium sehingga menimbulkan konsekuensi bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya [vide Pasal 1 ayat (2) KUHP].
Pembahasan mengenai tenggang waktu pengajuan grasi tentunya akan membawa kita pada dua hal yang saling berhadapan yaitu antara kutub kepastian hukum di satu sisi dan kutub keadilan di sisi lainnya. Pemberian grasi yang hanya dibatasi 1 tahun tentunya dapat menjamin kepastian hukum terhadap masa pidananya serta meminimalisir begitu banyaknya permohonan grasi yang diajukan. Batas waktu tersebut juga dapat menghindari penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan. Sedangkan dari segi keadilan, pembatasan waktu yang demikian tentunya dapat melanggar hak asasi terpidana dalam memperoleh pengampunan atas pelaksanaan pidana.
Pembatasan waktu permohonan grasi juga menjadi kontradiksi terhadap penguatan sistem presidensiil yang diterapkan di Indonesia. Grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Mengingat pemberian grasi adalah hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara maka apakah tepat jika Presiden dibatasi oleh waktu tertentu untuk dapat memberikan “pengampunan” terhadap terpidana. Apalagi konstitusi hanya menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, namun konstitusi tidak mengatur mengenai batas waktu pengajuan permohonan grasi, sehingga apakah memang perlu adanya pembatasan waktu pengajuan permohonan grasi di Indonesia?
(Lihat "Jangka Waktu Pengajuan Grasi Pasca Putusan MK")

Tidak ada komentar:

Posting Komentar