Selasa, 22 Desember 2015

Delik Penghinaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam hukum pidana dikenal adanya dua jenis delik yaitu delik aduan dan delik bukan aduan. Delik aduan memerlukan adanya aduan lebih dulu untuk kemudian polisi/penyelidik memproses aduan tersebut. Sedangkan delik bukan aduan tidak memerlukan aduan terlebih dahulu sehingga polisi/penyelidik dapat langsung memprosesnya. Umumnya suatu delik aduan diawali dari laporan atau aduan korban kepada polisi atas suatu perbuatan yang merugikan dirinya, misalnya seseorang merasa dihina oleh orang lain kemudian ia melaporkan kejadian tersebut ke polisi dan lalu diproses penyelidikan oleh polisi. Jika ia tidak melaporkan kepada polisi maka polisi tidak akan memproses kejadian penghinaan tersebut meskipun polisi mengetahui adanya kejadian tersebut, atau dengan kata lain dalam hal ini, polisi bersikap pasif atau menunggu aduan. Namun delik penghinaan ini rupanya terdapat ketentuan khusus berkaitan dengan penghinaan terhadap pejabat sebagaimana termuat pada Pasal 319 juncto Pasal 316 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni pada Buku Kedua: Kejahatan, Bab XVI Penghinaan.
Pasal 319 KUHP: "Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316".
Pasal 316 KUHP: "Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah".
Artinya, jika suatu penghinaan dilakukan seseorang terhadap pejabat, maka penghinaan tersebut dapat diadukan oleh orang lain, tidak harus menunggu si pejabat tersebut yang melakukan pengaduan ke polisi. Bahkan tanpa pengaduan pun penghinaan tersebut dapat diproses seperti halnya delik bukan aduan. 
Penghinaan terhadap pejabat memang hal yang amat potensial terjadi mengingat seorang pejabat merupakan sosok yang sering mendapat kritikan dari masyarakat, baik atas kebijakan, maupun perilakunya. Kritik dan saran tersebut tentunya diperlukan karena hal tersebut menjadi salah satu bentuk komunikasi antara pejabat dengan masyarakat. Apalagi di era demokrasi sekarang ini, setiap orang tentunya boleh mengemukakan pendapat, ditambah dengan semakin majunya media komunikasi sosial. Adanya ketentuan Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP tersebut justru dapat menghalangi hal tersebut karena setiap orang menjadi khawatir jika kritiknya terhadap pejabat justru dilaporkan oleh orang lain sebagai delik penghinaan, padahal si pejabat tersebut tidak merasa dihina atas kritik tersebut. 
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Desember 2015 melalui putusannya Nomor 31/PUU-XIII/2015 telah membatalkan frasa "kecuali berdasarkan pasal 316" pada Pasal 319 KUHP. Adapun salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah ketentuan Pasal 319 KUHP frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” membedakan perlakuan bagi masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara, dalam hal melakukan pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, Hal itu tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk ancaman pidananya. Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya. (selangkapnya lihat putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015).
Dengan demikian, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka delik penghinaan terhadap pejabat adalah sama halnya dengan penghinaan terhadap orang pada umumnya yaitu harus diawali dengan adanya pengaduan dari orang yang dihina (korban) tersebut. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi berpengaruh pula pada pola dalam berkomunikasi. Meskipun demikian, kebebasan berpendapat tentunya juga perlu diimbangi dengan kesantunan dalam penyempaiannya. Pada akhir Oktober 2015 yang lalu, Polri menerbitkan surat edaran tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech). Surat edaran tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial akibat dari ujaran kebencian seperti penghinaan, pencemaran nama baik, provokasi SARA, hasutan, dan penyebaran berita bohong. Di dalamnya terdapat upaya preventif dan penegakan hukum jika upaya preventif tidak menyelesaikan masalah. Terlepas dari pro dan kontra adanya edaran Polri tersebut, sudah seharusnya memang jika hak menyampaikan pendapat dipergunakan dengan bijak dan santun agar tidak kontra-produktif dengan tujuan pendapat yang ingin disampaikan tersebut.                                                                                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar