Selasa, 31 Desember 2019

Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional


Hukum Tata Negara dalam perjalanannya terus mengalami perkembangan di Indonesia. Ruang lingkup ilmu Hukum Tata Negara pun telah menjangkau dan berkorelasi dengan bidang ilmu hukum lainnya termasuk hukum internasional. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berperan besar terhadap perkembangan Hukum Tata Negara di Indonesia, banyak menangani beragam perkara pengujian undang-undang. Masing-masing perkara tersebut memuat isu konsitusional yang berbeda-beda. Salah satu isu konstitusional yang niscaya menjadi tantangan di masa depan bagi Mahkamah Konstitusi adalah isu yang berkaitan dengan hukum internasional. Pengakuan bangsa Indonesia sebagai bagian dari peradaban dunia tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada Alinea keempat yang menyebutkan “… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan…”. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengakui adanya negara lain dan untuk itu sudah sepatutnya Indonesia turut berperan serta dalam interaksi antar negara dan bangsa yang terwadah dalam koridor hukum Internasional. Perjanjian Internasional merupakan salah satu bentuk konkrit dari interaksi lintas negara tersebut dalam pemberlakuan hukum internasional.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang menegakkan keadilan senantiasa dihadapkan pada isu-isu lintas bidang ilmu dan bukan hanya terfokus pada hukum tata negara semata. Mahkamah Konstitusi melalui kewenangan pengujian undang-undang dapat pula dihadapkan dengan dinamika hukum internasional, khususnya berkaitan dengan keberadaan undang-undang pengesahan perjanjian internasional. Contohnya adalah dalam perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 bertanggal 26 Februari 2013 yaitu mengenai permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN).
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan, pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri;
Kemudian Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyatakan, pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. Artinya, terdapat dua bentuk peraturan perundang-undangan yang mewadahi perjanjian internasional yakni undang-undang dan keputusan presiden. Adapun perihal numenklatur keputusan presiden, setelah adanya perubahan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yakni dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 maka peraturan perundang-undangan dengan nama “keputusan presiden” diganti menjadi “peraturan presiden”. Meskipun demikian, keputusan presiden yang telah ada sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tetaplah berlaku.
Undang-undang pegesahan secara bentuknya memang terlihat sama sebagai undang-undang namun memiliki keunikan tersendiri dari latar belakang pembentukannya yakni berkaitan dengan adanya suatu perjanjian internasional. Selain itu, dari segi formatnya pun hanya memuat 2 (dua) pasal yakni pasal yang menyatakan pengesahan terhadap perjanjian internasional dimaksud dan pasal yang menyatakan undang-undang pengesahan tersebut mulai berlaku. Oleh karena itu, dalam memahami dapat atau tidaknya Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional dari segi hukum tata negara. 
Konstitusi sebagai kesepakatan anak bangsa telah memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang melindungi segenap warga negara Indonesia. Tugas Mahkamah Konsitutusi sebagai the guardian of constitution adalah memastikan penegakan dan jaminan hak-hak konstitusional tersebut. Tidak menutup kemungkinan suatu undang-undang yang berkaitan dengan hukum internasional menjadi salah satu undang-undang yang sering dimohonkan pengujian ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan di masa yang akan datang, bukan lagi wacana bahwa Mahkamah Konstitusi akan memutus suatu perkara yang berdampak pada aspek hukum internasional yang dijalankan Indonesia.

Sumber dan Link: (Lebih lengkap termuat dalam Buku berjudul “PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL: Pendekatan Teoretis, Komparatif, dan Praktik Pengujian Undang-Undang”, terbitan Rajawali Pers 2019)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar