Menurut Hans
Kelsen, hierarki norma hukum
terdiri atas (i) norma dasar (fundamental
norm); (ii) norma umum (general norms);
dan (iii) norma konkrit (concrete norms).
“Fundamental norms” terdapat dalam
konstitusi, “general norms” terdapat
dalam undang-undang, statute, atau legislative acts, sedangkan “concrete norms” terdapat dalam putusan
pengadilan (vonnis) dan
keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.[1]
Salah satu teori
pengembangan dari teori hierarki norma Hans Kelsen adalah teori dari murid Hans
Kelsen yaitu Hans Nawiasky yang disebut theorie
von stufenufbau der rechtsordnung.[2]
Menurut Nawiasky, sebagaimana dikutip Indrati, tata susunan norma hukum dalam suatu negara dapat
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok besar. Kelompok pertama adalah Norma
Dasar Negara atau disebut juga Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). Kelompok kedua disebut Aturan Dasar Negara
atau disebut juga Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz).
Kelompok ketiga disebut Undang-Undang (Formell
Gesetz), sedangkan kelompok yang keempat disebut dengan Peraturan
Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung
& Autonome Satzung).
[3]
Staatsfundamentalnorm adalah
norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(staatsverfassung) dari suatu negara.
Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih
dahulu dari konstitusi suatu negara. [4]
Attamimi
menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori
Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:[5]
1. Staatsfundamentalnorm:
Pancasila (Pembukaan UUD 1945);
2. Staatsgrundgesetz: Batang
Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan;
3. Formell gesetz: Undang-Undang;
4. Verordnung en autonome
satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota (sekarang adalah Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota)[6]
Adapun sejak
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, hierarki peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia adalah terdiri atas:[7]
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari
pendapat tersebut dapat dipahami bahwa dalam
hierarki Nawiasky tidak ada yang namanya Perjanjian Internasional ataupun Hukum
Internasional. Namun berbeda dengan Nawiasky, Hans Kelsen menyebut salah satu
bagian hierarki yaitu norma umum (general
norms) adalah terdapat dalam undang-undang, statute, atau legislative
acts. Jika statute yang dimaksud
oleh Hans Kelsen adalah perjanjian internasional maka artinya kaidah hukum
internasional pun dapat menjadi general
norms yang merupakan bagian dari hierarki yang dikemukakan Hans Kelsen.
Dengan kata lain tidak menutup kemungkinan hukum internasional mendapat tempat
secara otomatis dalam hierarki peraturan perundang-undangan suatu negara. Wajar
jika Hans Kelsen menempatkan statute dalam
hierarkinya, karena ia sebagai penganut aliran monisme yang memandang hukum
internasional dan hukum nasional sama-sama bagian dari satu sistem hukum yang
lebih besar.
Hamid Attamimi
dalam menjabarkan teori Nawiasky juga mengemukakan bahwa Staatsgrundgesetz adalah berupa
Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan. Artinya suatu
konvensi pun dapat menjadi aturan dasar negara (staatsgrundgesetz) yang
setara dengan Batang Tubuh UUD 1945 dan Tap MPR. Indrati dalam bukunya
menyebutkan bahwa yang dimaksud konvensi ketatanegaraan adalah hukum dasar
tidak tertulis yang tumbuh dan terpelihara di dalam masyarakat. Diakuinya Hukum
Dasar tidak tertulis di negara Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
Angka I UUD 1945[8]
yang menentukan, Undang-Undang Dasar suatu negara ialah sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.
Norma dasar[9]
merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma. Norma dasar itu ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu
dikatakan pre-supposed.[10]
Suatu norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) sudah seharusnya berakar dan
lahir dari bangsa itu sendiri (nasional).
Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh hukum internasional
pada saat awal penyusunannya, namun tetap ada tahapan penyesuaian dengan hukum nasional
dan ketika selesai disusun maka merupakan norma fundamental negara, bukan hukum
internasional, karena norma fundamental negara adalah norma-norma yang sudah
seharusnya lahir dari bangsa itu sendiri (nasional) dan menjadi ciri pula
dibandingkan dengan negara lain. Demikian pula pada tiga kelompok di bawah Staatsfundamentalnorm,
yakni Aturan Dasar Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (Formell Gesetz), serta Peraturan
Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung
& Autonome Satzung), juga tidak dapat dikatakan sebagai hukum
internasional. Jikapun ada pengaruh dari hukum internasional dalam
pembentukannya, kita tidak dapat mengatakan bahwa itu merupakan hukum internasional.
Pengejewantahan hukum internasional tersebut seharusnya tetap memerlukan tahap
transformasi atau alih bentuk.
Ketika suatu undang-undang
berlaku maka sesuai teori Nawiasky sudah seharusnya undang-undang itu merujuk
pada Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar
Negara atau disebut juga Aturan Pokok Negara) yaitu Batang Tubuh UUD 1945[11].
Oleh karena itu, ketika suatu perjanjian internasional akan dituangkan dalam
suatu undang-undang di Indonesia maka sejatinya juga merujuk pada Batang Tubuh
UUD 1945.
[1] Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang
di Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2004) hal. 38
[2] Hans Nawiasky dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006) hal 170
[3] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan. Buku I
(Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 44-45
[4] Hans Nawiasky dalam A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, Disertasi Ilmu
Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal.287, dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006) hal 170
[5] A. Hamid A. Attamimi dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen tentang Hukum (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006) hal 171
[6] Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, bukan lagi
hingga Keputusan Bupati atau Walikota
melainkan hingga Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
[7] Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[8] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan. Buku I
(Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 50-51
[9] Hans Kelsen menyebut norma dasar (fundamental norm) sebagai norma hukum yang tertinggi. Sedangkan
Hans Nawiasky menggunakan istilah staatsfundamentalnorm
sebagai norma hukum yang tertinggi
[10] Maria Farida Indrati. Op.Cit. hal. 41
[11] Bagian Batang Tubuh UUD 1945 dan bukan Pembukaannya, karena
Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok pikiran Pancasila menurut Maria Farida
Indrati merupakan Staatsfundamentalnorm.