Selasa, 22 Desember 2015

Delik Penghinaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam hukum pidana dikenal adanya dua jenis delik yaitu delik aduan dan delik bukan aduan. Delik aduan memerlukan adanya aduan lebih dulu untuk kemudian polisi/penyelidik memproses aduan tersebut. Sedangkan delik bukan aduan tidak memerlukan aduan terlebih dahulu sehingga polisi/penyelidik dapat langsung memprosesnya. Umumnya suatu delik aduan diawali dari laporan atau aduan korban kepada polisi atas suatu perbuatan yang merugikan dirinya, misalnya seseorang merasa dihina oleh orang lain kemudian ia melaporkan kejadian tersebut ke polisi dan lalu diproses penyelidikan oleh polisi. Jika ia tidak melaporkan kepada polisi maka polisi tidak akan memproses kejadian penghinaan tersebut meskipun polisi mengetahui adanya kejadian tersebut, atau dengan kata lain dalam hal ini, polisi bersikap pasif atau menunggu aduan. Namun delik penghinaan ini rupanya terdapat ketentuan khusus berkaitan dengan penghinaan terhadap pejabat sebagaimana termuat pada Pasal 319 juncto Pasal 316 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni pada Buku Kedua: Kejahatan, Bab XVI Penghinaan.
Pasal 319 KUHP: "Penghinaan yang diancam dengan pidana menurut bab ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan dari orang yang terkena kejahatan itu, kecuali berdasarkan pasal 316".
Pasal 316 KUHP: "Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah".
Artinya, jika suatu penghinaan dilakukan seseorang terhadap pejabat, maka penghinaan tersebut dapat diadukan oleh orang lain, tidak harus menunggu si pejabat tersebut yang melakukan pengaduan ke polisi. Bahkan tanpa pengaduan pun penghinaan tersebut dapat diproses seperti halnya delik bukan aduan. 
Penghinaan terhadap pejabat memang hal yang amat potensial terjadi mengingat seorang pejabat merupakan sosok yang sering mendapat kritikan dari masyarakat, baik atas kebijakan, maupun perilakunya. Kritik dan saran tersebut tentunya diperlukan karena hal tersebut menjadi salah satu bentuk komunikasi antara pejabat dengan masyarakat. Apalagi di era demokrasi sekarang ini, setiap orang tentunya boleh mengemukakan pendapat, ditambah dengan semakin majunya media komunikasi sosial. Adanya ketentuan Pasal 319 juncto Pasal 316 KUHP tersebut justru dapat menghalangi hal tersebut karena setiap orang menjadi khawatir jika kritiknya terhadap pejabat justru dilaporkan oleh orang lain sebagai delik penghinaan, padahal si pejabat tersebut tidak merasa dihina atas kritik tersebut. 
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Desember 2015 melalui putusannya Nomor 31/PUU-XIII/2015 telah membatalkan frasa "kecuali berdasarkan pasal 316" pada Pasal 319 KUHP. Adapun salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah ketentuan Pasal 319 KUHP frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” membedakan perlakuan bagi masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara, dalam hal melakukan pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, Hal itu tidak relevan lagi untuk membedakan pengaturan bahwa penghinaan kepada anggota masyarakat secara umum merupakan delik aduan, termasuk ancaman pidananya, sementara penghinaan kepada pegawai negeri atau pejabat negara merupakan delik bukan aduan, termasuk ancaman pidananya. Pembedaan yang demikian menurut Mahkamah tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan, sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya. (selangkapnya lihat putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015).
Dengan demikian, pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka delik penghinaan terhadap pejabat adalah sama halnya dengan penghinaan terhadap orang pada umumnya yaitu harus diawali dengan adanya pengaduan dari orang yang dihina (korban) tersebut. Tidak dipungkiri bahwa kemajuan teknologi informasi berpengaruh pula pada pola dalam berkomunikasi. Meskipun demikian, kebebasan berpendapat tentunya juga perlu diimbangi dengan kesantunan dalam penyempaiannya. Pada akhir Oktober 2015 yang lalu, Polri menerbitkan surat edaran tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech). Surat edaran tersebut bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial akibat dari ujaran kebencian seperti penghinaan, pencemaran nama baik, provokasi SARA, hasutan, dan penyebaran berita bohong. Di dalamnya terdapat upaya preventif dan penegakan hukum jika upaya preventif tidak menyelesaikan masalah. Terlepas dari pro dan kontra adanya edaran Polri tersebut, sudah seharusnya memang jika hak menyampaikan pendapat dipergunakan dengan bijak dan santun agar tidak kontra-produktif dengan tujuan pendapat yang ingin disampaikan tersebut.                                                                                                                                                                 

Jumat, 06 November 2015

Jangka Waktu Pengajuan Grasi di Indonesia

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana [vide Pasal 1 angka 1 UU 22/2002 tentang Grasi]. Pada negara kita yang menganut presidensiil, grasi diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [vide Pasal 14 ayat (1) UUD 1945]. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap [vide Pasal 7 ayat (1) UU Grasi]. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang, permohonan grasi pun memiliki rangkaian prosedur tersendiri, mulai dari penyampaian permohonan kepada pengadilan yang memutus, lalu diteruskan ke Mahkamah Agung, dan ditindaklanjuti Mahkamah Agung dengan memberi pertimbangan kepada Presiden untuk kemudian Presiden menetapkan akan menolak atau menerima permohonan grasi tersebut. Sebelum adanya Undang-Undang Grasi yang baru, permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu [vide Pasal 7 UU 22/2002], namun setelah ada perubahan Undang-Undang Grasi yaitu dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. [vide Pasal 7 ayat (2) UU  5/2010]
Dalam praktiknya, para terpidana yang setelah sekian lama menjalani hukuman di penjara, tidak menutup kemungkinan telah bersikap dan berkelakuan baik dalam menjalani kehidupan di lembaga pemasyarakatan selama bertahun-tahun. Akan tetapi mereka tidak dapat mengajukan permohonan grasi dikarenakan adanya batas waktu pengajuan selama 1 (satu) tahun. Jika demikian maka hasil positif dari bimbingan dan pembinaan di lingkungan lembaga pemasyarakatan tersebut justru menjadi sia-sia. Bukankah tujuan dari lembaga pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab? [vide konsiderans menimbang huruf c UU Pemasyarakatan]. Tidak adanya jaminan bahwa jangka waktu satu tahun adalah waktu yang cukup bagi keberhasilan bimbingan dan pembinaan lembaga pemasyarakatan terhadap terpidana, mengingat “pertobatan” terkadang juga menjadi proses perenungan yang panjang pada diri seseorang, sehingga alasan moral dan kemanusiaan yang seharusnya dapat menjadi pertimbangan dikabulkannya grasi pun menjadi tidak ada gunanya.
Seiring perkembangan waktu, perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia semakin dipandang sebagai hal yang penting dalam penyelenggaraan negara. Sejak dimulainya era reformasi kesadaran dan pengakuan hak asasi manusia terus mengalami kemajuan, apalagi perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002 menghasilkan muatan hak asasi manusia yang banyak tertulis dalam konstitusi kita. Oleh karena itu, perubahan ketentuan tenggang waktu pengajuan yang semula tidak dibatasi menjadi dibatasi hanya 1 (satu) tahun tentunya menjadi suatu pertanyaan di tengah akselerasi penegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Secara doktrinal, dikenal bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium sehingga menimbulkan konsekuensi bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya [vide Pasal 1 ayat (2) KUHP].
Pembahasan mengenai tenggang waktu pengajuan grasi tentunya akan membawa kita pada dua hal yang saling berhadapan yaitu antara kutub kepastian hukum di satu sisi dan kutub keadilan di sisi lainnya. Pemberian grasi yang hanya dibatasi 1 tahun tentunya dapat menjamin kepastian hukum terhadap masa pidananya serta meminimalisir begitu banyaknya permohonan grasi yang diajukan. Batas waktu tersebut juga dapat menghindari penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan. Sedangkan dari segi keadilan, pembatasan waktu yang demikian tentunya dapat melanggar hak asasi terpidana dalam memperoleh pengampunan atas pelaksanaan pidana.
Pembatasan waktu permohonan grasi juga menjadi kontradiksi terhadap penguatan sistem presidensiil yang diterapkan di Indonesia. Grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Mengingat pemberian grasi adalah hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara maka apakah tepat jika Presiden dibatasi oleh waktu tertentu untuk dapat memberikan “pengampunan” terhadap terpidana. Apalagi konstitusi hanya menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, namun konstitusi tidak mengatur mengenai batas waktu pengajuan permohonan grasi, sehingga apakah memang perlu adanya pembatasan waktu pengajuan permohonan grasi di Indonesia?
(Lihat "Jangka Waktu Pengajuan Grasi Pasca Putusan MK")

Jumat, 30 Oktober 2015

Subjectum Litis dan Objectum Litis dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi

Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi.Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances. Dengan digunakannya prinsip tersebut, maka dibutuhkan hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara. Melalui rumusan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 9 November 2001, menjadikan Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi beserta dengan kewenangannya.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, atau dalam praktik disebut sebagai perkara SKLN. Lahirnya kewenangan Mahkamah Konstisusi dalam menangani SKLN menunjukkan bahwa adanya pergeseran dari mekanisme politik menjadi mekanisme hukum dalam penyelesaian sengketa kewenangan antar lembaga.
Seperti halnya dengan jenis perkara lainnya yang juga diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum (legal standing) menjadi bagian penting suatu perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Kedudukan hukum (legal standing) ini pula yang menjadi pintu masuk (entry point) suatu perkara untuk dapat memasuki pokok permohonan. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara merupakan jenis perkara yang tidak hanya mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohonnya, melainkan juga memperhatikan kedudukan hukum (legal standing) Termohon. Ini karena khusus perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara adalah perkara yang menghadapkan Pemohon dan Termohon sebagai pihak yang menyengketakan suatu kewenangan dirinya selaku lembaga negara.
Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 harus dipenuhi syarat-syarat kedudukan hukum sebagai berikut:
a. Para pihak yang bersengketa (subjectum litis) yaitu Pemohon dan Termohon, kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; 
b. Kewenangan yang dipersengketakan (objectum litis) harus merupakan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945;
c. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan.

Bicara mengenai kedudukan hukum (legal standing) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, maka tidak terlepas dari subjectum litis dan objectum litis permohonan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-IX/2011 bertanggal 29 September 2011, terdapat pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menentukan subjectum litis dan objectum litis permohonan sebagai syarat terpenuhinya kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan Termohon.
Dalam pengertian sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara terdapat dua unsur yang harus dipenuhi, yaitu (i) adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan (ii) timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait. (Jimly Asshiddiqie, 2005, “Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, halaman 15).
Berdasarkan Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 2/SKLN-IX/2011, untuk menentukan apakah sebuah lembaga sebagai lembaga negara sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pertama-tama harus diperhatikan adalah apakah ada kewenangan-kewenangan tertentu dalam Undang-Undang Dasar (objectum litis) dan kemudian kepada lembaga apa kewenangan-kewenangan tersebut diberikan (subjectum litis) (Luthfi Widagdo Eddyono, "Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara oleh Mahkamah Konstitusi”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Juni 2010, halaman 25).
Subjectum litis artinya adalah para pihak yang bersengketa dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Subjectum litis tersebut tidak hanya terhadap Pemohon, namun juga Termohon. Artinya jika Pemohon terpenuhi sebagai subjectum litis yaitu lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, akan tetapi Termohon bukanlah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (ataupun sebaliknya) maka syarat kumulatif yang dimaksud Pasal 61 UU MK tidaklah terpenuhi.
Objectum litis artinya adalah kewenangan yang dipersengketakan dalam perkara SKLN. Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa yang menjadi objek sengketa antarlembaga negara dalam rangka jurisdiksi Mahkamah Konstitusi adalah persengketaan mengenai kewenangan konstitusional antarlembaga negara. Isu pokoknya bukan terletak pada kelembagaan lembaga negaranya, melainkan terletak pada soal kewenangan konstitusional yang dalam pelaksanaannya, apabila timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka yang berwenang memutuskan lembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang dipersengketakan tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. (Jimly Asshiddiqie, 2005, “Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara”, Konstitusi Press, Jakarta, halaman 13).
Sengketa kewenangan adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara. Baik subjectum litis maupun objectum litis, keduanya adalah syarat yang harus dipenuhi dalam memenuhi kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Mahkamah berpendapat “subjectum litis maupun objectum litis Pemohon adalah dua hal yang pemenuhannya bersifat kumulatif”. (Lihat dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi pada paragraf [3.11] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/SKLN-IX/2011, bertanggal 29 September 2011).
Bila dalam permohonan Pemohon tidak terpenuhi syarat subjectum litis (subjek perkara) dan objectum litis (objek perkara), maka permohonan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadilinya. Lazimnya Mahkamah Konstitusi memutus permohonan yang demikian dengan amar menyatakan "permohonan tidak dapat diterima" atau niet ontvankelijk verklaard.

Kesimpulan:
Sikap Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan terpenuhinya subjectum litis maupun objectum litis adalah sebagaimana ketentuan Pasal 61 UU MK, bahwa Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung Pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi Termohon. Jika melihat rumusan ketentuan Pasal 61 tersebut, maka ada tiga hal yang haruslah secara kumulatif terpenuhi, yaitu subjectum litis Pemohon, subjectum litis Termohon, dan objectum litis Permohonan. Ketiga hal tersebutlah yang menjadi syarat kumulatif untuk terpenuhi kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan SKLN di Mahkamah Konstitusi.


Selasa, 22 September 2015

Kewenangan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah

Pada bulan Desember 2015, pemilihan kepala daerah secara serentak menjadi momen pertama kali bagi bangsa Indonesia. Bukan hal baru bagi rakyat Indonesia untuk melakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, namun hal ini menjadi hangat mengingat pelaksanaannya yang secara serentak. Direncanakan bahwa Pilkada serentak dilakukan sebanyak tujuh gelombang dari Desember 2015 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2015 dan semester pertama 2016), Februari 2017 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua 2016 dan pada 2017), Juni 2018 (untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2018 dan 2019), tahun 2020 (untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015), tahun 2022 (untuk kepala daerah hasil pemilihan pada Februari 2017), tahun 2023 (untuk kepala daerah hasil pemilihan 2018), dan tahun 2027. Sehingga mulai 2027, Pilkada dilakukan secara serentak di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia yang seterusnya dilakukan kembali setiap 5 tahun sekali.

Kronologis Kewenangan Sengketa Pilkada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 telah menunjuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Tugas tersebut bukanlah hal baru bagi MK karena pernah dilakukan pada beberapa tahun sebelumnya. Secara kronologis, semula berdasarkan ketentuan Pasal 106 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, keberatan berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan Calon diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Kewenangan MA tersebut dicantumkan lagi dalam Pasal 94 Peraturan Pemerintah (PP) No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana telah diubah dengan PP No 49 Tahun 2008. Namun kemudian sejak perubahan UU 32/2004 tentang Pemda kewenangan tersebut beralih dari MA ke MK. UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32/2004 tentang Pemda dalam Pasal 236C menentukan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak UU 12/2008 tersebut diundangkan. Ketentuan Pasal 236C UU 12/2008 tersebut ditindaklanjuti dengan Ketua MA dan Ketua MK saat itu bersama-sama menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili pada tanggal 29 Oktober 2008. Sejak saat itulah MK menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah yang saat itu Pilkada belum dilakukan secara serentak. Pada tahun 2009 pun kewenangan tersebut dimuat pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni UU 48/2009 pada Pasal 29 ayat (1) huruf e.

Dalam perjalanannya, terdapat permohonan pengujian undang-undang mengenai kewenangan MK dalam mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada. Permohonan constitusional review dengan registrasi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut adalah menguji Pasal 236C UU 12/2008 yang sejak 2008 menjadi dasar hukum MK dalam mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Perkara tersebut juga sekaligus menguji pula Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MK pun kemudian melalui putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 pada tanggal 19 Mei 2014 menyatakan Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dibatalkannya Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 tersebut maka MK tidak lagi berwenang mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, meskipun dalam amar putusan 97/PUU-XI/2013 terdapat ketentuan peralihan yaitu MK tetap mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah selama belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut. Salah satu alasan MK menyatakan Pasal 236C UU 12/2008 dan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 inkonstitusional adalah karena menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 salah satu kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, sedangkan menurut MK perselisihan hasil pemilihan kepala daerah bukanlah rezim Pemilihan Umum,

Presiden SBY pada akhir periode jabatannya pada Oktober tahun 2014 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada Pasal 157 Perppu tersebut, penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) melalui Pengadilan Tinggi sebagai penerima perkara. Hal tersebut mengingat perangkat MA yang sudah tersedia di tingkat daerah, disamping juga merujuk putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang secara tidak langsung mengembalikan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil Pilkada kepada MA. Pada masa Presiden Jokowi, pembentuk undang-undang melalui UU Nomor 1 Tahun 2015 menetapkan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Namun UU 1/2015 tersebut kemudian mengalami perubahan-perubahan. UU 8/2015 yang merupakan perubahan atas UU 1/2015 menjadikan MK untuk kembali mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (lihat Pasal 157 UU 8/2015). Pertimbangan pembentuk undang-undang adalah sambil menunggu dibentuknya badan peradilan khusus penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah maka kewenangan tersebut ditangani oleh MK, sehingga jadilah MK kembali menangani perkara perselisihan hasil Pilkada serentak.

Selasa, 25 Agustus 2015

Sekilas tentang Hukum Internasional

Pada umumnya, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Adapun definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek hukum lainnya (Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global; Edisi ke-2. Bandung: Alumni, 2005). Sementara itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (1) negara dengan negara; (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain (Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003).

Sejarah
Dalam periodesasinya hukum internasional dapat dibagi dalam 2 masa, yaitu zaman kerajaan sebagai hukum internasional (HI) tradisional dan zaman kenegaraan sebagai HI modern.

a. HI Tradisional
Pada zaman india kuno sudah mengenal ketentuan yang mengatur kedudukan dan hak istimewa diplomat atau utusan raja, juga sudah terdapat ketentuan yang mengatur perjanjian (treaties), hak dan kewajiban raja, serta tentang perang. Di zaman yunani kuno, dikenal ketentuan tentang perang dan penghormatan terhadap utusan kerajaan lain. Pada zaman romawi, diakui kekebalan pada duta.

b. HI Modern
Perjanjian perdamaian Westphalia dianggap telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara-negara nasional (tidak lagi didasarkan atas kerajaan-kerajaan). Hukum internasional dalam arti sekarang, baru berkembang mulai abad ke-16 dan abad ke-17 setelah lahirnya negara-negara dengan sistem modern di Eropa dan dipengaruhi oleh karya-karya tokoh Eropa dari dua aliran yakni golongan naturalis dan golongan positivis. Pada periode tahun 1900 hingga tahun 1945, didirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), sebuah organisasi internasional yang didirikan setelah Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, yang tujuannya menjaga agar dunia tetap aman dengan cara menyelesaikan sengketa lewat diskusi dan perjanjian. Munculnya Perang Dunia II mengakibatkan bubarnya LBB dan dibentuklah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Seusai Perang Dunia II, dimulailah tahap emansipasi politik bagi negara-negara terjajah ke dalam masyarakat internasional sebagai negara-negara yang merdeka dan sama derajatnya.

Subjek HI
Secara umum, subjek hukum diartikan sebagai setiap pemegang, pemilik, atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan atau menurut hukum. Dengan kemampuan sebagai pemilik, pemegang, ataupun pendukung hak dan pemikul kewajiban, secara tersimpul juga adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum antara sesamanya (Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003). Adapun subjek-subjek hukum internasional adalah:

1. Negara
Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian sejak lahirnya hukum internasional. Menurut Konvensi Montevideo 1933, syarat adanya negara ialah:
(a) penduduk yang tetap;
(b) wilayah yang pasti;
(c) pemerintah;
(d) kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.
Jika diamati dengan saksama, keempatnya dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur pokok. Syarat poin a, poin b, dan poin c sifatnya riil, sedangkan syarat poin d adalah sifatnya non-riil. Syarat terakhir ini sukar untuk diukur secara pasti karena sifatnya sangat relatif dan subjektif, akan tetapi syarat terpenting adalah poin d. Jika belum memenuhi unsur “kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain” maka belum dapat disebut sebagai negara menurut Konvensi Montevideo 1933 (I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003). 

2. Organisasi Internasional
Organisasi internasional adalah suatu organisasi yang dibentuk dengan perjanjian internasional oleh dua negara atau lebih yang berisi fungsi, tujuan, kewenangan, asas, dan struktur organisasi. Organisasi internasional barulah diakui sebagai subjek hukum internasional yang berhak menyandang hak dan kewajiban dalam hukum internasional sejak keluarnya advisory opinion Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation Case 1949. Keberadaan organisasi internasional sebagai salah satu subjek hukum internasional juga semakin diakui sejak adanya perubahan Konvensi Wina. Pada Konvensi Wina 1969 hanya diatur pihak dalam perjanjian internasional sebatas pada sesama negara, namun sejak Konvensi Wina 1986 pihak dalam perjanjian internasional tidak hanya sebatas sesama negara namun juga antara organisasi internasional dengan negara-negara anggota, organisasi internasional dengan negara lain, ataupun dapat pula antara sesama organisasi internasional.

3. Vatikan
Keberadaan Vatikan sebagai subjek hukum internasional, erat kaitannya dengan alasan sejarah. Kewibawaan Vatikan menjadikan negara-negara menghargai dan memberi tempat tersendiri kepada Vatikan dalam hubungan internasional sejajar dengan negara-negara dan subjek-subjek hukum internasional lainnya.

4. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross)
Palang Merah Internasional atau ICRC hanyalah salah satu macam organisasi internasional, namun karena faktor sejarah, keberadaannya di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan strategis. Dikatakan unik karena awalnya Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional yakni di Swis. Palang Merah Internasional ini mempunyai peranan penting dengan dikuatkannya dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang.

5. Individu
Pengakuan hukum internasional terhadap individu sebagai subjek hukum internasional terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut di depan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas namanya sendiri terhadap kejahatan-kejahatan internasional yang telah dilakukannya. Dengan kata lain, hal tersebut berkaitan dengan tanggung jawab individu.

6. Pihak dalam Sengketa (belligerent)
Apabila di suatu negara terjadi pemberontakan yang memecah belah kesatuan nasional dan efektifitas pemerintahan maka keadaan ini menempatkan negara-negara ketiga dalam keadaan yang sulit terutama dalam melindungi berbagai kepentingannya di negara tersebut. Dalam keadaan ini lahirlah sistem pengakuan belligerency. Pengakuan belligerency ini bersifat terbatas dan sementara serta hanya selama berlangsungnya perang tanpa memperhatikan apakah kelompok yang memberontak itu akan menang atau kalah dalam peperangan (Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global; Edisi ke-2. Bandung: Alumni, 2005).

Sumber Hukum Internasional 
Menurut Starke, ada lima kategori atau bentuk utama sumber hukum internasional (J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2009), yaitu:
    1. Custom (kebiasaan)
    2. Treaties (traktat-traktat)
    3. Decision of judicial or arbitral tribunals (putusan badan peradilan atau arbitrase)
    4. Juristic works (karya-karya atau pendapat-pendapat para ahli hukum)
    5. Decision or determinations of the organs of international institutions (keputusan-keputusan dari organ-organ organisasi internasional).
Adapun menurut Piagam Mahkamah Internasional pada Pasal 38 ayat (1) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:
    1. Perjanjian internasional, yang diakui tegas oleh negara-negara yg bersangkutan;
    2. Kebiasaan internasional, yang telah diterima sebagai hukum;
    3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
    4. Keputusan pengadilan dan pendapat sarjana terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Tata susunan sebagaimana ditentukan Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional tersebut umumnya diikuti dalam praktik. Perjanjian internasional (international convention), kebiasaan internasional (international custom), prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (the general principles of law) adalah sumber hukum primer, sedangkan keputusan pengadilan dan pendapat sarjana terkemuka dari berbagai negara adalah sumber hukum tambahan.

Pustaka:
  • Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global; Edisi ke-2. Bandung: Alumni, 2005.
  • I Wayan Parthiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003.
  • J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
  • Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni, 2003.
  • Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar . Jakarta: Rajawali Pers, 2011

Selasa, 14 Juli 2015

Dinasti Politik di antara Demokrasi dan HAM

Pada awal Juli 2015, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan putusan perkara pengujian undang-undang (dengan Nomor 33/PUU-XIII/2015) yaitu pengujian konstitusionalitas Pasal 7 huruf r UU 8/2015 mengenai keluarga petahana jika maju sebagai calon dalam Pemilukada, atau yang populer di media sebagai “dinasti politik”. Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tersebut menentukan bahwa, “Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... r. tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Adapun Penjelasan Pasal 7 huruf r tersebut menyatakan, "yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.
Dengan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasannya tersebut artinya seseorang yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan dimaksud dengan petahana (pejabat yang saat ini menjabat/incumbent) maka ia baru dapat menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah setelah melewati jeda 1 kali masa jabatan si petahana berakhir. Maksud pembentuk Undang-Undang mencantumkan ketentuan Pasal 7 huruf r dan Penjelasan Pasal 7 huruf r adalah untuk menciptakan kompetisi yang fair antara calon yang berasal dari keluarga petahana (incumbent) dan calon lain sehingga dengan demikian akan tercegah berkembangnya apa yang dinamakan “politik dinasti” atau “dinasti politik".
Ada dua hal yang dihadapkan pada perkara pengujian Pasal 7 huruf r dan Penjelasannya tersebut yaitu aspek demokrasi dan aspek hak asasi manusia. Berhubungan dengan demokrasi karena adanya dinasti politik dikhawatirkan dapat menggerus nilai demokrasi dari penyelenggaraan Pemilukada. Berkaitan pula dengan hak asasi manusia (HAM) karena adalah hak setiap manusia untuk mencalonkan diri dalam suatu pemilihan dalam hal ini Pemilukada (right to be candidate).
Demokrasi sendiri berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Artinya demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Hal ini berbeda dengan nomokrasi yang berarti kekuasaan tertinggi suatu negara bersumber dari hukum. Berbeda pula dengan teokrasi, dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan dan didasarkan pada agama. Lebih berbeda lagi dibandingkan sistem kedaulatan raja yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada raja.
Bicara mengenai demokrasi artinya menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan penentu jalannya penyelenggaraan negara. Pemerintahan dalam suatu negara dilakukan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam Pemilukada, rakyat akan menentukan sendiri layak tidaknya seorang calon dipilih untuk memimpin daerahnya. Jika rakyat tidak menginginkan adanya dinasti politik maka sudah secara otomatis rakyat tidak akan memilih calon yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana. Atau sebaliknya, bisa jadi rakyat justru menginginkan calon tersebut memimpin daerahnya dengan alasan kualitas, integritas, dan kemampuan calon tersebut dinilai mumpuni meskipun ia memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana.
Konsep demokrasi di Indonesia sendiri memang bukan sekedar demokrasi secara mutlak melainkan lebih kepada gabungan antara kedaulatan rakyat dan juga kedaulatan hukum. Maka dari itu, jika membaca beberapa literatur akan kita temui bahwa kedaulatan di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan hukum. Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, yakni demokrasi yang berada dalam koridor hukum. Adapun hukum tertinggi di Indonesia adalah konstitusi (UUD 1945), artinya demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang sesuai dengan konstitusi (demokrasi konstitusional).
Berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), kita mengenal adanya hak politik yang salah satunya adalah hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Konstitusi UUD 1945 memang memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tetapi pembatasan terhadap hak-hak tersebut haruslah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berkelebihan. Nampaknya hal tersebut juga dipahami Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terlihat pada salah satu bagian pertimbangannya bahwa "...Memang benar bahwa tidak setiap pembedaan serta-merta berarti diskriminasi. Namun, dalam kasus a quo, tampak nyata kalau pembedaan tersebut dibuat semata-mata didasari oleh maksud untuk mencegah kelompok orang tertentu (in casu anggota keluarga kepala daerah petahana) untuk menggunakan hak konstitusionalnya (in casu hak untuk dipilih atau mencalonkan diri, right to be candidate) dan dilakukan dengan cara yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 ...".
Kini dengan telah dibatalkannya Pasal 7 huruf dan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU 8/2015 oleh Mahkamah Konstitusi, maka langkah selanjutnya adalah penyesuaian perangkat dan aturan di bawahnya oleh pembentuk Undang-Undang dan penyelenggara Pemilukada. Sebagai negara demokrasi yang bedasarkan hukum, sudah sepatutnya pelaksanaan demokrasi tersebut berjalan dalam koridor hukum yang jelas sehingga kedaulatan rakyat itu tidak tergerus oleh aturan hukum itu sendiri.
 

Jumat, 12 Juni 2015

Sekilas tentang Table Manner

Table Manner adalah suatu hal yang sering saya dengar namun masih asing bagi saya. Beberapa waktu lalu saya mendapat kesempatan mengikuti pelatihan atau dapat disebut kursus singkat mengenai table manner di salah satu hotel internasional ternama di Jakarta. Penyampai materi adalah asisten manager yang bertanggung jawab terhadap menu hidangan di hotel tersebut. Yang menarik dari pelatihan ini dibandingkan pelatihan lainnya adalah karena selain praktik langsung, dapat pengetahuan baru, dan tentunya nyicipi hidangan restoran hotel pula.
Sejarah table manner bermula dari Raja Louis dari Perancis yang memiliki kebiasaan mengadakan jamuan dan mengundang para bangsawan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Pada era sekarang, table manner menjadi hal yang wajib dipahami dalam pergaulan internasional terutama orang-orang yang sering bertemu atau membangun relasi antara bangsa. Pernah saya dengar bahwa table manner ini juga sering dipelajari oleh para pejabat atau pimpinan lembaga. Begitu pentingnya bahkan mereka menyisihkan waktu khusus untuk secara privat berlatih mengenai tata sikap di meja makan ini sehingga tidak kaku lagi ketika harus menghadiri acara jamuan resmi.
Yang saya tangkap dari kursus singkat tempo hari, inti dari table manner adalah tentang bersikap saat menyantap hidangan agar sesuai dengan standar yang berlaku secara internasional. Sikap tersebut meliputi cara duduk, cara menggunakan alat makan, kebiasaan yang ada di meja makan, hingga cara mengakhiri santapan.

1. Sikap Duduk.
Jangan duduk sebelum tuan rumah mempersilahkan duduk. Duduklah setelah pelayan membukakan kursi. Duduk yang baik adalah tidak menyender dan tidak membungkuk, tidak terlalu maju dan tidak terlalu mundur. Saat duduk, letakkan telapak tangan  di atas paha.

2. Serbet (Napkin)
Biasanya di meja masing-masing sudah disiapkan serbet atau napkin secara terlipat. Ketika sudah dipersilahkan duduk, bukalah lipatan serbet dan lipat kembali membentuk segitiga besar. Letakkan serbet di atas paha seperti sedang memangku serbet. Serbet ini fungsinya selain untuk melindungi pakaian juga digunakan ketika menyapu mulut dari makanan yang menempel. Selama menikmati hidangan, napkin harus selalau di atas paha (ingat, di paha sendiri, bukan di paha orang lain lho..).

3. Alat Makan.
Di meja makan biasanya sudah tersedia alat makan berupa sendok, garpu, pisau, piring, dan juga gelas. Bentuk dan ukuran alat-alat makan tersebut dapat bermacam-macam, ada yang kecil, sedang, dan besar. Hidangan akan disajikan secara berurutan satu per satu, mulai dari hidangan pembuka (appetizer), hidangan sup (soup), hidangan utama (main course), hingga hidangan penutup (dessert). Masing-masing hidangan tersebut pun akan disantap satu per satu. Nah, alat makan berupa sendok, garpu, pisau akan diletakkan secara berjejer di meja sesuai dengan urutan hidangan yang disajikan.

Gunakan alat makan dari yang terluar secara berurutan karena alat makan tersebut diletakkan telah sesuai dengan urutan hidangan tersebut. Dengan demikian, tidak perlu khawatir dengan apa fungsi alat makan yang berbeda-beda ukuran itu. Cukup gunakan alat makan sesuai dengan urutan dimulai dari yang diletakkan terluar.

4. Minum
Gelas yang digunakan adalah gelas dengan tangkai di bawahnya (seperti gelas sirup). Ketika hendak minum maka bagian yang dipegang adalah tangkai tersebut. Untuk ari putih, pelayan secara otomatis akan menuangkan kembali minuman jika melihat air putih di meja kita telah berkurang atau habis. Gelas biasanya diletakkan berada di posisi sebelah kanan depan.

5. Menyantap Roti
Roti disajikan dengan mentega (butter). Ketika memakan hidangan roti, pegang roti dengan tangan dan cuil secukupnya. Lalu bagian kecil roti tersebut diolesi mentega menggunakan pisau kecil yang telah disediakan. Setelah diolesi dengan mentega lalu potongan kecil roti tersebut disuapkan ke mulut menggunakan tangan.

6. Menyantap Sup
Saat menyantap hidangan sup, gunakan sendok sup. Ambil sup dengan mengayunkan sendok dari dalam ke luar kemudian disuapkan ke mulut. Arah ayunan sendok dari dalam ke luar adalah untuk menghindari cipratan sup mengenai pakaian.

7. Menyantap Daging/Steak
Hidangan utama (main course) dalam jamuan resmi biasanya berupa steak daging sapi. Alat yang digunakan adalah pisau di tangan kanan, dan garpu di tangan kiri. Fungsi garpu untuk menahan steak sedangkan pisau digunakan untuk mengiris/memotong steak. Suapkan potongan daging dengan menggunakan garpu di tangan kiri. Jangan menyuapkan makanan menggunakan pisau.

8. Selesai Menyantap Hidangan
Hidangan disajikan satu per satu. Oleh karena itu, ketika satu hidangan telah selesai maka pelayan akan mengambil piring dan alat makan yang telah digunakan, kemudian menyajikan hidangan berikutnya. Letakkan alat makan (garpu, pisau, ataupun sendok) sejajar searah jarum jam 4 atau jam 5. Kebiasaan selama ini, ketika selesai makan kita meletakkan alat makan secara menyilang, justru itu menandakan kita meminta tambah hidangan tersebut kepada pelayan.

Jadi, Letakkan alat makan sejajar searah jarum jam 4 atau jam 5 yang menandakan kita telah selesai dengan hidangan tersebut dan pelayan yang melihatnya akan mengambil piring tersebut dan bersiap menyajikan hidangan selanjutnya. Demikian seterusnya hingga hidangan penutup.


9. Sikap dan Etika
Ada beberapa hal yang perlu pula diperhatikan dalam table manner:
  • Jangan menyantap makanan sebelum dipersilakan tuan rumah.
  • Jangan minum sebelum semua orang di satu meja mendapatkan minumannya dari pelayan.
  • Jangan berbicara ketika mengunyah makanan.
  • Apabila ada alat makan yang jatuh dari meja maka biarkan saja karena pelayan akan menggantinya dengan alat makan yang baru.
  • Apabila harus bersin atau batuk maka gunakan serpet (napkin) untuk menutupnya.
  • Jangan gunakan alat komunikasi, kecuali jika ada panggilan penting maka mintalah izin kepada tuan rumah.
  • Jangan meminta tambahan saus atau sambal karena hidangan yang disajikan sudah diperhitungkan takarannya.
  • Apabila membawa tas (biasanya wanita) maka letakkan tas di samping kanan posisi duduk. Jika tas teresebut kecil maka dapat diletakkan di belakang tubuh saat duduk.
  • Apabila hendak ke toilet maka mintalah izin kepada tuan rumah. Lipatlah serbet (napkin) menjadi segitiga kecil serta letakkan di meja. Ketika sudah kembali ke meja makan maka lipat kembali serbet menjadi segitiga besar dan letakkan di pangkuan seperti duduk semula.

Sumber Gambar:
- http://www.chainecalgary.ca/about-us/etiquette-and-table-manners/
- http://cupofjo.com/2012/04/dinner-etiquette/

Senin, 18 Mei 2015

Konstitutisonalitas Penetapan Tersangka dalam Ranah Praperadilan

Ada suatu adigium universal yang mengatakan bahwa: "Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah"

Pada 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusan pengujian konstitusionalitas undang-undang (constitutional review) yang berkaitan dengan praperadilan. Putusan dengan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut antara lain menguji Pasal 77 huruf a KUHAP bahwa "Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: (a) sah atau  tidaknya  penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan"
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut salah satunya telah memutuskan antara lain bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Dengan perkataan lain, MK memutuskan bahwa sah atau tidak sahnya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan merupakan bagian dari hal yang dapat diputus dalam pranata praperadilan di samping sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Praperadilan menurut KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP), tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atai pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Adapun putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 adalah khusus mengenai Pasal 77 huruf a yaitu pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Dengan adanya putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut maka artinya wewenang pengadilan dalam menangani gugatan praperadilan kini mencakup pula untuk memeriksa dan menutus tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Sebelum adanya putusan MK tersebut, isu mengenai penetapan tersangka belakangan ini telah lebih dulu populer khususnya ketika menyangkut upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak sedikit tersangka tindak pidana korupsi yang mengajukan upaya praperadilan ke pengadilan untuk menuntut agar penetapan tersangka atas dirinya dinyatakan tidak sah. Putusan pengadilan negeri pun telah ada yang mengabulkan gugatan praperadilan dan menyatakan penetapan tersangka terhadap dirinya oleh KPK dinyatakan tidak sah, Banyak pula opini yang tidak setuju dengan putusan praperadilan tersebut dengan alasan hal tersebut tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi karena telah melepaskan jeratan KPK terhadap tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Selain itu, lingkup praperadilan pun merupakan hal yang telah limitatif ditentukan dalam KUHAP, khususnya Pasal 77.
Pertimbangan MK pada putusan tersebut dapat dipahami bahwa meskipun lingkup praperadilan dibatasi secara limitatif oleh ketentuan Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, namun penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang. Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan.
Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tersebut dapat membuka pintu upaya hukum bagi seseorang yang merasa ditetapkan sebagai tersangka maupun mengalami penggeledahan dan penyitaan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Kekhawatiran bahwa akan terhentinya proses penegakan hukum bagi tersangka jika gugatan praperadilannya dikabulkan oleh pengadilan, hal tersebut telah terjawab pada pertimbangan putusan MK tersebut bahwa perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara idela dan benar. (selengkapnya putusan MK dapat dibaca di sini)
Kini dengan telah adanya putusan MK sebagai lembaga pengawal konstitusi, hiruk pikuk dan keraguan perihal wewenang pengadilan negeri dalam memutus gugatan praperadilan megenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, seharusnya dengan putusan MK hal tersebut menjadi jelas. Bahkan bukan hanya penetapan tersangka, suatu penggeledahan dan penyitaan pun dapat diputuskan tidak sah oleh pengadilan jika ada gugatan praperadilan.
Persamaan di hadapan hukum (equality before the law) telah dijamin oleh konstitusi yakni sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, jika kita cermati, terkandung pesan moral khususnya bagi para penegak hukum bahwa seorang tersangka harus diposisikan sebagai subjek manusia yang memiliki harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. KUHAP menganut asas akusitor yang memposisikan tersangka sebagai subjek, itu berbeda dengan asas inkusitor yang memposisikan tersangka sebagai objek. Putusan MK tersebut juga mengandung pesan bahwa prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Hal yang sama tentunya berlaku pula dalam hal penggeledahan dan penyitaan.

Jumat, 15 Mei 2015

Sekilas tentang Hak Paten

Perjanjian Internasional tentang aspek-aspek perdagangan dari Hak Kekayaan Intelektual (the TRIP’s Agreement) dalam Part II mengenai Standards Concerning The Availability, Scope and Use of Intellectual Property Rights menyatakan bahwa HKI terdiri dari:
1. Copyright and Related Rights (hak cipta dan hak terkait);
2. Trademarks (merek dagang);
3. Geographical Indications (indikasi geografis);
4. Industrial Designs (desain industri);
5. Patents (paten);
6. Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuits [tata letak (topografi) sirkuit terpadu];
7. Protection of Undisclosed Information (perlindungan informasi rahasia);
8. Control of Anti-Competitive Practices in Contractual Licences (kontrol terhadap praktik persaingan usaha tidak sehat dalam perjanjian lisensi)
Salah satu cabang dari Hak Kekayaan Intelektual adalah paten. Paten diberikan untuk melindungi invensi di bidang teknologi. Paten diberikan untuk jangka waktu yang terbatas, dan tujuannya adalah untuk mencegah pihak lain, termasuk para investor independen dari teknologi yang sama, menggunakan invensi tersebut selama jangka waktu perlindungan paten, supaya inventor atau pemegang paten mendapat manfaat ekonomi yang layak atas invensinya. (Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, P.T. Alumni, Bandung, 2006).
Setiap teknologi selalu diawali dengan penemuan (invensi), dan seringkali penemu atas penemuannya (invensi) tersebut merasa dirugikan jika penemuannya justru diklaim oleh orang lain. Oleh sebab itu, diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap penemu atas penemuannya.
Undang-Undang tentang Paten yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Keberadaan paten dapat menjamin perlindungan terhadap penemu (inventor) atas penemuannya (invensi). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 (UU 14/2001), menyebutkan bahwa paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak eksklusif tersebut diperoleh dengan melalui pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Lalu apa syaratnya agar suatu invensi (penemuan) dapat diberi Paten? Pasal 2 ayat (1) UU 14/2001 tentang Paten menyebutkan bahwa Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung langkah Inventif serta dapat diterapkan dalam industri.
Terdapat 2 macam asas pendaftaran paten dalam rangka perlindungan hukum, yaitu (i) Asas First to File yaitu memberikan hak paten bagi mereka yang mendaftar pertama atas invensi baru sesuai dengan persyaratan; (ii) Asas First to Invent yaitu memberikan hak paten bagi mereka yang menemukan inovasi pertama kali sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Sistem paten di Indoenesia menganut asas first-to-file, artinya siapa saja yang mendaftarkan invensinya untuk pertama kalinya di kantor Paten akan mendapatkan hak paten. (Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT Indeks, Jakarta, 2008). Asas first-to-file terlihat pada Pasal 34 ayat (1) UU 14/2001 yaitu apabila untuk satu Invensi yang sama ternyata diajukan lebih dari satu Permohonan oleh Pemohon yang berbeda, Permohonan yang diajukan pertama yang dapat diterima. (Lihat lebih lanjut mengenai Pendaftaran Paten)
Singkatnya, Paten atas suatu penemuan akan dimiliki seseorang jika seseorang tersebut mendaftarkan penemuannya. Hal ini berbeda dengan hak cipta yang diperoleh secara otomatis oleh pencipta sejak ciptaan diciptakan. Dalam arti lain, paten diberikan oleh negara kepada seseorang atas penemuannya.
Berbeda dengan Hak Cipta yang melindungi sebuah karya, Paten melindungi sebuah ide, bukan ekspresi dari ide tersebut. Pada Hak Cipta, seseorang lain berhak membuat karya lain yang fungsinya sama asalkan tidak dibuat berdasarkan karya orang lain yang memiliki hak cipta. Adapun pada Paten, seseorang tidak berhak untuk membuat sebuah karya yang cara bekerjanya sama dengan sebuah ide yang dipatenkan. (Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009)
Paten memiliki suatu sifat eksklusif karena hanya Pemegang Paten yang dapat melaksanakan paten atau dapat pula memberikan hak kepada orang lain untuk dapat melaksanakan paten tersebut. Orang lain dilarang melaksanakan Paten tersebut tanpa persetujuan Pemegang Paten. Menurut UU Paten, Pemegang Paten adalah Inventor sebagai pemilik Paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik Paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam Daftar Umum Paten [vide Pasal 1 angka (6) UU 14/2001].
Pasal 16 ayat (1) UU 14/2001 tentang Paten mengatur bahwa Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
  1. dalam hal Paten-produk : membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, meyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
  2. dalam hal Paten-proses : menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Pasal 16 ayat (2) UU 14/2001 mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal Paten-proses, larangan terhadap pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari penggunaan Paten-proses yang dimilikinya.
Dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 14/2001 disebutkan yang dimaksud dengan produk mencakup alat, mesin, komposisi, formula, product by process, sistem, dan lain-lain. Contohnya adalah alat tulis, penghapus, komposisi obat, dan tinta. Sedangkan yang dimaksud dengan proses mencakup proses, metode atau penggunaan. Contohnya adalah proses membuat tinta, dan proses membuat tisu.
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2001 memiliki pengecualian yaitu dikecualikan apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten, dengan perkataan lain sepanjang tidak digunakan untuk kepentingan yang mengarah kepada eksploitasi untuk kepentingan komersial [vide Pasal 16 ayat (3) dan Penjelasannya UU 14/2001].
Pemegang Paten juga memiliki hak yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU 14/2001 yaitu memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian lisensi. Selain itu, Pemegang Paten juga berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga setempat terhadap siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan melanggar hak Pemegang Paten.
Selain memiliki hak, Pemegang Paten juga memiliki suatu kewajiban. Pemegang Paten diminta untuk membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia, yang dimaksudkan untuk menunjang adanya alih teknologi, penyerapan investasi, penyediaan lapangan kerja [vide Pasal 17 ayat (1) UU 14/2001]. Ketentuan tersebut memliki pengecualian yakni sepanjang apabila pembuatan produk atau penggunaan proses tersebut hanya layak dilakukan secara regional. Hal itu dimaksudkan untuk mengakomodasi rasionalitas ekonomi dari pelaksanaan Paten sebab tidak semua jenis Invensi yang diberi Paten dapat secara ekonomi menguntungkan apabila skala pasar bagi produk yang bersangkutan tidak seimbang dengan investasi yang dilakukan [vide Pasal 17 ayat (2) dan Penjelasannya UU 14/2001]. Pengecualian kewajiban tersebut hanya dapat disetujui oleh Direktorat Jenderal HKI apabila Pemegang Paten telah mengajukan permohonan tertulis dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan oleh instansi yang berwenang [vide Pasal 17 ayat (3) UU 14/2001].
Selain kewajiban membuat produk atau menggunakan proses yang diberi Paten di Indonesia, Pemegang Paten juga memiliki kewajiban membayar biaya tahunan (annual fee) yang dimaksudkan untuk pengelolaan kelangsungan berlakunya Paten dan pencatatan lisensi. [vide Pasal 18 UU 14/2001]. Istilah itu dikenal juga di beberapa negara sebagai biaya pemeliharaan (maintenance fee).
Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan permohonan Paten dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Adapun Paten Sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan permohonan Paten dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang [vide Pasal 8 dan Pasal 9 UU 14/2001]
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa Paten pada dasarnya memiliki fungsi untuk melindungi suatu penemuan. Perlindungan terhadap penemuan tersebut tentunya tidak hanya untuk kepentingan individu penemu, namun juga untuk kepentingan masyarakat, yaitu kesejahteraan masyarakat serta riset dan pembangunan. Bahkan paten juga memiliki manfaat bagi kepentingan negara karena Paten memiliki peran terhadap perkembangan perekonomian dan teknologi suatu negara.

Pustaka:
  • Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
  • The TRIP’s Agreement
  • Tim Lindsey dkk, Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, P.T. Alumni, Bandung, 2006
  • Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual untuk Penumbuhan Inovasi, PT Indeks, Jakarta, 2008
  • Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, 2009

Jumat, 17 April 2015

Perubahan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban

UUD 1945 sebagai konstitusi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan selain itu juga menjunjung tinggi perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia. Sebagai negara hukum yang melindungi hak asasi manusia, dalam penegakan hukumnya negara tersebut hendaknya senantiasa memperhatikan perlindungan terhadap korban, saksi, maupun pelaku suatu tindak pidana. Pada tahun 2014, pembentuk undang-undang telah selesai membentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bagian konsiderans (menimbang) Undang-Undang baru tersebut disebutkan bahwa perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Beberapa hal baru telah diatur pada UU 31/2014 baik dari segi perlindungan terhadap saksi, korban, dan saksi pelaku, maupun dari segi lembaga penegaknya yaitu dalam hal ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

1. Saksi Pelaku
Pada UU yang baru telah diakomodir keberadaan Saksi Pelaku yaitu dalam kaitannya dengan penyelesaian pemeriksaan tindak pidana. Menurut UU yang baru, Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Dalam UU baru diatur pula syarat pemberian perlindungan terhadap Saksi Pelaku.

2. Kompensasi dan Restitusi.
Pada UU yang baru telah diatur lebih tegas mengenai apa yang dimaksud kompensasi dan restitusi, serta pengajuannya. Namun demikian pada Pasal 7B disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Setidaknya dengan adanya Pasal 7B tersebut telah membuka ruang diaturnya lebih rinci mengenai permohonan dan pemberian kompensasi dan restitusi.

3. Penambahan hak Saksi dan Korban.
Terdapat tiga penambahan hak saksi dan korban yang diatur dalam Pasal 5 yakni hak untuk dirahasiakan identitasnya, hak mendapat tempat kediaman sementara, dan hak mendapat pendampingan. Hak tersebut tidak hanya diberikan kepada Saksi dan/atau Korban, namun dalam kasus tertentu dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan Ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

4. Perlindungan terhadap Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual, dan Korban penganiayaan berat juga berhak mendapatkan bantuan medis serta bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Pada UU yang lama perlindungan tersebut hanya mengakomodir Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

5. Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.

6. Penanganan Khusus dan Penghargaan.
Pada UU yang baru telah dikenal adanya penanganan khusus dan penghargaan bagi Saksi Pelaku. Penanganan secara khusus adalah seperti pemisahan tempat penahanan; pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya. Adapun Penghargaan atas kesaksian adalah berupa keringanan penjatuhan pidana; atau pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

7. Wewenang LPSK 
Pada UU yang baru, wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) disebutkan secara rinci yakni dalam Pasal 12A.

8. Komposisi Pimpinan LPSK.
Komposisi 7 orang Pimpinan LPSK diatur lebih rinci pada UU yang baru bahwa LPSK terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota dan 6 (enam) orang Wakil Ketua masing-masing merangkap sebagai Anggota. Disebutkan pula bahwa Pimpinan LPSK tersebut bekerja secara kolektif.

9. Tenaga Ahli LPSK
LPSK dibantu oleh tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan organisasi.

10. Dewan Penasihat
Dewan Penasihat dibentuk untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Anggota LPSK.

11. Dewan Etik 
UU yang baru mengatur pula tentang keberadaan Dewan Etik. Dalam hal Anggota LPSK melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e UU a quo, Dewan Penasihat membentuk Dewan Etik yang bersifat ad hoc.

12. Perlindungan terhadap Pelapor dan Ahli.
Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan Ahli diberikan dengan syarat:  
a. sifat pentingnya keterangan Pelapor dan Ahli; dan 
b. tingkat Ancaman yang membahayakan Pelapor dan Ahli.

13. LPSK dapat bersifat aktif.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UU yang baru (UU 31/2014) bahwa dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan. 

14. Perlindungan terhadap anak.
UU yang baru telah mengakomodir perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban. 

15. Penegasan bahwa hak perlindungan dihentikan jika diketahui bahwa kesaksian, laporan, atau informasi lain diberikan tidak dengan iktikad baik. Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, maka tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut.

16. Penghapusan ancaman pidana minimal.
Pasal 37 hingga Pasal 41 yang mengatur tentang ketentuan pidana, pada UU yang baru telah diperbarui yakni dengan menghapus ketentuan pidana penjara paling sedikit dan pidana denda paling sedikit. Dengan demikian tidak ada ancaman pidana penjara dan denda minimal lagi dalam ketentuan Pasal 37 sampai Pasal 41 UU Perlindungan Saksi dan Korban.

17. Tindak Pidana oleh Korporasi
Pada UU yang baru diatur pula ketentuan ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 dilakukan oleh korporasi maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 41 UU 31/2014.

Demikianlah beberapa perubahan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang terdapat pada UU 31/2014. UU baru tersebut sifatnya tidak mencabut UU yang lama melainkan merubah beberapa ketentuan, artinya ketentuan lainnya pada UU 13/2006 tetaplah berlaku sepanjang yang tidak diubah oleh UU 31/2014. Adanya perubahan dan perbaikan UU tersebut diharapkan dapat meningkatkan perlindungan terhadap saksi dan korban di Indonesia.

Rabu, 01 April 2015

Apple to Apple Sistem Pemerintahan Presidensiil dan Parlementer

Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu kesatuan dari berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling berkesinambungan dalam mencapai tujuan. Tujuan pemerintahan suatu negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara tersebut. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

Sistem pemerintahan dibagi menjadi dua klasifikasi besar, yaitu 
i. sistem pemerintahan parlementer; dan
ii. sistem pemerintahan presidensiil. 

Umumnya, negara-negara di dunia menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan tersebut. Inggris dianggap sebagai panutan bagi negara yang menganut sistem pemerintahan parlemen, bahkan Inggris disebut sebagai Mother of Parliaments (induk parlemen). Adapun  Amerika Serikat merupakan panutan bagi negara dengan sistem pemerintahan presidensiil. Dari dua negara tersebut, kemudian sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain. 
Klasifikasi sistem pemerintahan presidensiil dan parlementer didasarkan pada hubungan antara eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensiil apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. 

i. Sistem Pemerintahan Parlementer, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 
  • Anggota legislatif atau parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen. 
  • Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri. Perdana menteri sebagai pemimpin kabinet dipilih oleh parlemen untuk melaksanakan kekuasaan eksekutif.
  • Kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen. 
  • Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet. 
  • Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. 
  • Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebagai simbol kedaulatan dan keutuhan negara. 
  • Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru. 
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer adalah pembuatan kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai. Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet menjadikan kabinet barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan. 
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer adalah kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen. Di sisi lain, kabinet juga dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai mayoritas. Karena pengaruh mereka yang besar di parlemen dan partai, anggota kabinet dapat menguasai parlemen. 

ii. Sistem Pemerintahan Presidensiil, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
  • Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis. 
  • Kabinet dibentuk oleh Presiden. 
  • Kabinet bertangungjawab kepada Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif. 
  • Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan Presiden tidak dipilih oleh parlemen. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer. 

Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial adalah lembaga eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen. Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya karena masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Selain itu, jabatan menteri dapat diisi oleh orang luar partai (profesional). 
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensiil adalah kekuasaan eksekutif di luar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak. Sistem pertanggungjawabannya juga kurang jelas. Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama. 

Sistem Pemerintahan Indonesia 
Indonesia adalah salah satu negara dengan sistem pemerintahan presidensiil. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Kabinet atau menteri diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Namun sistem presidensiil di Indonesia tidaklah murni karena khususnya setelah perubahan UUD 1945, terdapat variasi dengan mengambil beberapa unsur pada sistem parlementer. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR (hal ini dikenal dengan istilah impeachment dan prosedurnya diatur pada UUD 1945). DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi Presiden. Selain itu, Presiden dalam mengangkat pejabat negara tertentu (seperti Duta Besar) serta dalam mengeluarkan kebijakan tertentu (seperti amnesti dan abolisi) perlu memperhatikan pertimbangan dari DPR. Parlemen juga diberi kekuasaan dalam hal membentuk undang-undang bersama-sama Presiden dan memiliki hak budget (anggaran). Variasi-variasi tersebut dilakukan dengan harapan dapat memperbaiki sistem presidensial yang lama sebelum adanya perubahan UUD 1945 yang dilakukan tahun 1999-2002.