Kamis, 29 Januari 2015

Praperadilan menurut KUHAP

Isu ketegangan hubungan KPK dan Polri kembali mencuat. Calon Kapolri BG ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK pada saat proses pemilihan, padahal Presiden Jokowi hanya mengajukan satu nama calon kepada DPR yaitu BG. Atas penetapan tersangka tersebut, BG mengajukan praperadilan. Presiden pun menunggu hasil proses praperadilan itu untuk mengambil langkah selanjutnya. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan, apa itu praperadilan?

Ketentuan mengenai Praperadilan terdapat dalam KUHAP pada Pasal 1 angka 10 serta pada Bab X, Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili, Bagian Kesatu, yaitu Pasal 77 sampai dengan Pasal 83. Praperadilan adalah kewenangan pengadilan negeri, artinya jika seseorang hendak mengajukan gugatan praperadilan maka ia harus mendaftarkan gugatannya di pengadilan negeri setempat yaitu pengadilan tingkat kabupaten/kota. Permohonan gugatan tersebut ditujukan kepada ketua pengadilan negeri. 

Hal-hal apa saja yang dapat diajukan ke praperadilan? Menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP juncto Pasal 77 KUHAP, ada tiga hal yang dapat diajukan ke praperadilan, yaitu mengenai:
  1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
  2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan;
  3. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.
  4. Sejak Putusan MK Nomor Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, lingkup Praperadilan pada Pasal 77 huruf a KUHAP menjadi termasuk pula permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan (lihat di sini)
Lalu, siapa sajakah yang dapat mengajukan gugatan praperadilan?
  1. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan maka diajukan oleh tersangka, keluarganya atau kuasanya;
  2. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan maka dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan;
  3. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan maka diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan;
Adapun yang dimaksud dengan "pihak ketiga yang berkepentingan" menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012, bertanggal 21 Mei 2013, haruslah dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan. Artinya jika misalnya ada seorang korban yang merasa keberatan dengan penghentian suatu proses penyidikan terhadap pelaku, maka si korban tersebut dapat mengajukan praperadilan atas penghentian penyidikan tersebut dan memohon agar penyidikan itu dilanjutkan.

Sidang praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan praperadilan maka hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Pada saat pemeriksaan hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya. 

Apabila suatu perkara pokok sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan praperadilan tersebut gugur. Misalnya seorang yang ditangkap karena kasus penganiayaan, lalu mengajukan praperadilan mengenai penangkapan atas dirinya. Jika kasus penganiayaan tersebut kemudian lebih dulu mulai diperiksa di sidang pengadilan negeri, sedangkan permintaan praperadilannya masih dalam proses, maka permintaan praperadilan yang diajukannya tadi menjadi gugur. Hal tersebut karena praperadilan adalah suatu proses yang dilakukan sebelum perkara pokoknya diperiksa, itulah sebabnya praperadilan menggunakan pemeriksaan cepat dalam waktu 7 hari. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.

Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya serta memuat hal-hal sebagai berikut:
  1. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
  2. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
  3. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
  4. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Menurut ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Mulanya ketentuan Pasal 83 ayat (1) ini terdapat pengecualian yaitu Pasal 83 ayat (2) bahwa kecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Namun ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 bertanggal 1 Mei 2012. Dengan demikian terhadap putusan praperadilan tidak ada banding.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar