Pada dasarnya hukum acara pidana merupakan termasuk dalam ranah hukum
publik. Hukum acara pidana adalah suatu peraturan-peraturan atau
noram-norma yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alat
perlengkapannya bertindak apabila terjadi dugaan atau terjadi
pelanggaran terhadap hukum pidana. Hukum pidana itu sendiri
dapat terbagi atas hukum pidana materiil dengan sumbernya KUHP yang
berisi peraturan-peraturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenai
pidana, serta ada hukum pidana formil dengan sumber KUHAP yang
bertujuan menegakkan hukum pidana materiil.
Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil, dengan tujuan akhirnya yaitu menciptakan
ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan
masyarakat. Hukum acara pidana termasuk dalam hukum publik, karena
yang bertindak jika terjadi pelanggaran adalah negara melalui
alat-alat perlengkapannya yaitu polisi, jaksa, dan hakim. sebagai negara hukum yang menegakan prinsip due process of law (baca: Aparat Penegak Hukum dan Due Process of Law) maka Polisi, jaksa, dan hakim dalam menjalankan acara pidana haruslah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP yang
mengandung ketentuan acara pidana. Adapun dalam buku Andi Hamzah (berjudul Hukum
Acara Pidana Indonesia. Jakarta: 2000, halaman 2), hukum acara pidana
ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai pada mencari
kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan
pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk
hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang
pidana.
Para pihak yang
terlibat dalam hukum acara pidana yaitu meliputi terdakwa maupun
tersangka; saksi; penyelidik maupun penyidik; jaksa penuntut umum;
hakim; penasihat hukum; serta lembaga permasyarakatan. Dalam asas-asas hukum acara pidana dikenal suatu asas yaitu asas
akusator dan inkisitor. Inkisitor dan akusator merupakan sistem
pemeriksaan yang digunakan dalam hukum acara pidana, yang mana kedua
sistem pemeriksaan tersebut adalah berbeda. Dalam inkisitor
pemeriksaan dilakukan secara tertutup, tanpa didampingi penasihat
hukum, tersangka/terdakwa dipandang sebagai objek, serta menitikberatkan kepada pengakuan. Sedangkan akusator pemeriksaan dilakukan
terbuka, dapat didampingi penasihat hukum, tersangka/terdakwa
dipandang sebagai subjek artinya sama kedudukannya dengan pemeriksa,
serta menitikberatkan kepada pembuktian ataupun keterangan terdakwa.
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan
universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak
negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian seperti contohnya alat-alat bukti berupa pengakuan kini diganti dengan “keterangan
terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan
ahli. Dalam rangka mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan
pembuktian tersebut menjadikan para penegak hukum semakin membutuhkan penguasaan dan pengetahuan luas baik teknis hukum maupun ilmu-ilmu lainnnya yang mendukung acara pidana
seperti kriminologi, viktimologi, kedokteran forensik, psikologi, dan lainnya. (baca: ilmu pendukung hukum acara pidana)
wow keren, menarik untuk dibaca...
BalasHapuskunjungi juga Mencari Solusi Atas Krisis Penegakan Hukum Indonesia dg Penyehatan Penegakan Hukum Berkeadilan