Sabtu, 31 Januari 2015

Hukum Acara Pidana

Pada dasarnya hukum acara pidana merupakan termasuk dalam ranah hukum publik. Hukum acara pidana adalah suatu peraturan-peraturan atau noram-norma yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alat perlengkapannya bertindak apabila terjadi dugaan atau terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana. Hukum pidana itu sendiri dapat terbagi atas hukum pidana materiil dengan sumbernya KUHP yang berisi peraturan-peraturan mengenai perbuatan-perbuatan yang dikenai pidana, serta ada hukum pidana formil dengan sumber KUHAP yang bertujuan menegakkan hukum pidana materiil. 
Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dengan tujuan akhirnya yaitu menciptakan ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Hukum acara pidana termasuk dalam hukum publik, karena yang bertindak jika terjadi pelanggaran adalah negara melalui alat-alat perlengkapannya yaitu polisi, jaksa, dan hakim. sebagai negara hukum yang menegakan prinsip due process of law (baca: Aparat Penegak Hukum dan Due Process of Law) maka Polisi, jaksa, dan hakim dalam menjalankan acara pidana haruslah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu KUHAP dan perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan acara pidana. Adapun dalam buku Andi Hamzah (berjudul Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: 2000, halaman 2), hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara pidana. Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.
Para pihak yang terlibat dalam hukum acara pidana yaitu meliputi terdakwa maupun tersangka; saksi; penyelidik maupun penyidik; jaksa penuntut umum; hakim; penasihat hukum; serta lembaga permasyarakatan. Dalam asas-asas hukum acara pidana dikenal suatu asas yaitu asas akusator dan inkisitor. Inkisitor dan akusator merupakan sistem pemeriksaan yang digunakan dalam hukum acara pidana, yang mana kedua sistem pemeriksaan tersebut adalah berbeda. Dalam inkisitor pemeriksaan dilakukan secara tertutup, tanpa didampingi penasihat hukum, tersangka/terdakwa dipandang sebagai objek, serta menitikberatkan kepada pengakuan. Sedangkan akusator pemeriksaan dilakukan terbuka, dapat didampingi penasihat hukum, tersangka/terdakwa dipandang sebagai subjek artinya sama kedudukannya dengan pemeriksa, serta menitikberatkan kepada pembuktian ataupun keterangan terdakwa.
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian seperti contohnya alat-alat bukti berupa pengakuan kini diganti dengan “keterangan terdakwa”, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli. Dalam rangka mengimbangi perubahan sistem pemeriksaan dan pembuktian tersebut menjadikan para penegak hukum semakin membutuhkan penguasaan dan pengetahuan luas baik teknis hukum maupun ilmu-ilmu lainnnya yang mendukung acara pidana seperti kriminologi, viktimologi, kedokteran forensik, psikologi, dan lainnya. (baca: ilmu pendukung hukum acara pidana)  


1 komentar: